“Siapa?”
tanyaku penasaran.
“Sama …” lagi-lagi dia tak
melanjutkan kata-katanya.
“Siapa, Qih?” aku semakin penasaran.
“Sama Rahma, Ti.” jawabnya
malu-malu.
“Haah? Rahma teman sekelas? Nggak
salah?” tanyaku tak percaya. Rahma terkenal dengan sifat “gonta-ganti” pacar.
Hampir seluruh sekolah tahu akan sifatnya. Tapi untunglah dia tidak mengatakan
menyukaiku.
“Kenapa, Ti? Aku nggak lihat dia
seperti teman-teman lihat dia. Aku yakin dia orang yang baik.” sahutnya penuh
keyakinan.
“Oh. Ya sudah kalau kamu memang
yakin dia gitu. Deketin, gih! Mumpung sudah putus sama Rifki.” ucapku.
“Doain ya, Ti. Aku bakal bikin dia berubah.
Aku harap bisa buat dia berhenti dari sifat jeleknya itu.” Faqih benar-benar
bersemangat dengan tekadnya.
“Aamiin.” aku mengamini tekadnya.
Kemudian kami kembali ke kelas karena bel masuk telah berbunyi. Selama di
kelas, Faqih terus bercerita tentang ketertarikannya pada Rahma di sela-sela
pelajaran. Aku hanya mendengarkan sambil mengerjakan tugas matematika dari Bu
Sosi. Sebenarnya aku nggak terlalu suka jika Faqih harus jatuh cinta sama
Rahma. Karena sifatnya yang sering bergonta-ganti pasanganlah yang paling
membuatku tidak terlalu menyukainya. Tapi aku juga tidak punya hak apa-apa
untuk melarangnya. Yah, semoga saja apa yang dikatakan Faqih tentang Rahma
benar. Semoga.
Tak terasa, ujian nasional sudah
dekat. Semuanya bersiap-siap, baik persiapan rohani maupun jasmani. Pihak
sekolah pun telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung kesuksesan
murid-muridnya. Doa dari Papa dan Mama juga selalu dipanjatkan untuk
kesuksesanku.
Dan akhirnya, hari yang dinantikan
oleh seluruh siswa SMP se-Indonesia pun tiba. Tanggal 25 April adalah hari
pertama UN. Mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa Indonesia. Aku dapat
mengerjakannya dengan lancar. Begitu pun untuk hari-hari selanjutnya. Hingga
akhirnya selesailah sudah masa-masa mencekam, namun aku dapat melaluinya dengan
lancar. Alhamdulillah.
Liburan panjang pun tiba, tetapi
tidak sepenuhnya aku bisa berlibur. Karena masih harus menyiapkan
dokumen-dokumen untuk mendaftar ke SMA. Yang ku lakukan selama liburan hanyalah
membantu Mama di rumah dan bersepeda ria bersama Faqih. Banyak yang mengira kami
adalah sepasang kekasih karena melihat kedekatan kami. Tetapi percayalah, rasa
ini hanyalah rasa sayangku ini hanyalah perasaan terhadap seorang sahabat saja.
Tidak lebih.
Besok adalah hari diumumkannya hasil
kelulusan. Perasaan tak karuan menghinggapiku. Mama cemas melihatku gelisah,
“Sayang, nggak usah cemas. Mama yakin kamu lulus dengan nilai yang memuaskan.”
“Anak Papa kan pinter, pasti bisa
kok!” sambung Papa.
“Aamiin. Makasih supportnya, Ma, Pa.” kemudian aku bergegas
masuk ke dalam kamarku dan mencoba untuk tidur.
Keesokan harinya …
“Siap denger pengumuman?” Faqih
menyapaku di depan kelas.
“Insyaallah. Jam 8 kan
pengumumannya?”
“Yup. Yuk langsung ke Graha, kita
nunggu di sana aja.”
Di perjalanan menuju Graha, Faqih
mendominasi pembicaraan. Topik yang dibahas tak lain dan tak bukan adalah
Rahma. Aku hanya mengangguk-angguk mendengarnya bercerita dengan sangat
antusias.
Sesampainya di Graha, kami bertemu
dengan Rahma. Aku pun mengajaknya untuk duduk bersama kami. Faqih tampak senang
sekali, namun tak bisa dipungkiri dia juga gugup. Semoga kamu bisa bahagia,
Qih. Ucapku dalam hati.
Kini tiba saatnya bagi Kepala
Sekolah mengumumkan kelulusan kami. Semua diam menyimak. Aku menggenggam
tanganku erat, dentuman jantungku berdetak semakin kencang. Tak habis-habisnya
aku berdzikir dan bershalawat.
“Bismillahirrohmanirrohim. Amplop
ini Bapak buka sekarang. Semoga kalian diberikan yang terbaik oleh Allah SWT.”
Pak Roib membuka pidatonya.
“Dengan surat ini, Dinas Pendidikan
dan Kebudayaan Kabupaten Sampang menyatakan bahwa seluruh siswa SMPN 1 Sampang
dinyatakan lulus 100%”
Kebisuan itu pun pecah setelah Pak Roib
membacakan surat keputusan. Tangis haru tak luput mewarnai ekspresi kegembiraan
teman-temanku. Segera aku memberi kabar kepada Mama dan Papa melalui BBM.
Setelah pengumuman kelulusan, aku
memutuskan untuk langsung pulang. Aku melihat Faqih masih bersama Rahma. Karena
tak ingin mengganggu kesenangan Faqih, aku memutuskan untuk pulang sendirian.
Hari-hari berikutnya Faqih tak
menampakkan batang hidungnya. Tak ada kabar satu pun darinya. Sempat ada rasa
kesal di hati, namun aku berpikir lagi bahwa mungkin dia sedang berusaha untuk
mendapatkan perhatian Rahma.
“Sudah seminggu Mama nggak ketemu
Faqih. Kalian tengkar?”
“Nggak kok, Ma. Faqih lagi PDKT sama
Rahma mungkin.”
“Cemburu?”
“Mama ngeledek, deh. Kan aku udah
bilang kalau kita cuma sahabatan aja.”
“Iya.. Iya.. Mama bercanda kok,
Sayang.” Mama berlalu sambil tertawa.
Keesokan harinya Faqih muncul. Dia
datang ke rumah pagi-pagi sekali dengan wajah sumringah.
“Ti.. Aku mau cerita.” ucapnya.
“Ya.”
“Kok cuek, Ti?”
“Nggak. Nggak cuek, kok. Cuma lagi
kesel aja ada yang ngelupain aku gara-gara udah deket sama gebetannya.”
“He he. Ya maaf, Ti. Namanya juga
lagi jatuh cinta. Gini lho, Ti . . .”
Setelah selesai menceritakan semua
yang dirasakan dan dialaminya, Faqih pun pamit pulang. Aku senang melihat ada
kemajuan untuk bisa mendapatkan hati Rahma. Semoga saja mereka bisa bersatu.
Dan kini adalah awal MOS di SMAku.
Tak terasa ternyata aku sudah SMA. Yang paling tak terduga adalah Faqih, Rahma,
dan aku satu kelas lagi. Mungkin ini yang dinamakan jodoh, pikirku.
Seminggu setelah MOS, Faqih
memberitahukan bahwa dia telah berpacaran dengan Rahma. Mereka tampak bahagia.
Aku pun begitu, telah menemukan tembatan hati. Dia adalah Ardi, siswa kelas
sebelah.
Takdir memang tak ada yang tahu.
Siapa yang akan mengira bahwa hubungan Faqih dan Rahma hanya bertahan 5 bulan
saja. Aku sangat marah mendengar kabar itu. Penyebabnya adalah Rahma berselingkuh
dengan mantan kekasihnya. Ternyata perkiraan awalku memang benar, seorang Rahma
tak akan pernah bisa berubah.
Aku melihat perubahan yang sangat
drastis dari Faqih. Kini tubuhnya semakin kurus, kantung matanya semakin
menghitam, dan dia tak seceria dulu. Dia pun sering mengeluh pusing dan
badannya lemas hingga harus meminum multivitamin setiap hari. Aku menceritakan
hal ini pada kekasihku, dan memintanya untuk menghibur Faqih karena mungkin Ardi lebih mengerti bagaimana perasaan seorang lelaki itu.
“Aku kasian sama Faqih, Ar.”
“Iya, aku ngerti gimana perasaanmu.
Nanti aku coba buat hibur dia. Kamu jangan ikutan sedih dong, Sayang.”
Setahun kemudian, Faqih, Rahma, dan
aku pisah kelas. Aku bersyukur karena dengan hal ini mungkin bisa membuat sakit
hati Faqih sedikit membaik. Faqih mulai ceria lagi, meskipun tak seperti dulu,
tapi setidaknya tak ada wajah murung yang menghiasi wajahnya. Tetapi dia mulai
jarang pergi ke rumahku, mungkin karena ada Ardi.
“Qihul, kok sekarang jarang main ke
rumah?” tanyaku saat menghampirinya yang sedang mengerjakan soal matematika.
“Sibuk, Ti. Biasa, artis dadakan. Ha
ha.”
“GRnya.”
“Ha ha. Kenapa? Lagian kan udah ada Ardi, Ti? Masih kurang sama satu lelaki? Ih, kamu nggak chili-chilian, kan?”
“Jidatmu, Qih! Sembarangan aja!”
“Ulala, ngambek ciee. Iya nanti
malam aku ke rumahmu. Ardil ke sana juga, nggak?”
“Iya, mau tanya PR Bahasa Inggris
katanya. Yaudah, aku balik dulu. Awas ya kalo nggak ke rumah!” aku mengepalkan
tanganku di depan wajah Faqih. Dia hanya tertawa terbahak-bahak melihat
tingkahku.
Malamnya, Faqih benar-benar pergi ke
rumah. Malam ini aku sendirian, karena Mama pergi bersama Papa menjenguk Tante
yang baru lahiran. Tapi untunglah ada dua lelaki yang sudah dipercaya oleh
orang tuaku untuk menjagaku.
“Aku kok masih sering pusing
sekarang ya?” tanya Faqih di sela-sela perbincangan.
“Perlu sentuhan wanita tuh, Qih.” Ard. menimpali seraya tertawa terbahak-bahak. Aku mencubit lengannya karena
menjawab seperti itu.
“Udah periksa?” tanyaku.
“Belum sih, tapi mungkin karena aku
kecapekan, Ti. Usulanmu ada benernya juga tuh, Ar. Ha ha.”
“Dasar laki-laki”. gerutuku dalam
hati.
Mereka menemaniku sampai kedua orang
tuaku pulang. Jam menunjukkan pukul 22.05, dan orang tuaku pun tiba.
“Tuh Mama sama Papa!” seru Ardi.
“Aku pamit ya, Ti.” ucap Faqih.
“Aku juga.” Ardi pun mengikuti
Faqih.
“Iya. Tunggu Mama sama Papa masuk
dulu, dong. Sekalian kalian pamitan sama mereka.” sahutku.
“Assalamualaikum. Lho, kalian belum
pulang?” tanya Papa.
“Waalaikumsalam. Kita nungguin Oom
sama Tante. Kasian Tia kalau sendirian, Om. Maaf kalau kami belum pulang jam
segini.” kata Ardi.
“Oh, nggak papa, Nak. Malah Oom mau
berterima kasih sama kalian sudah mau menemani Tia dan menunggu Oom dan Tante
pulang.”
“Kami pamit dulu, Om, Tan. Pulang
ya, Ti.” pamit Faqih.
“See you.” Ardi berkedip nakal
kepadaku.
Lanjut part selanjutnya :)