Kamis, 22 Januari 2015

Rindu

Qih, aku kangen. Kamu baik" aja kan di sana? Sebentar lagi GSP lho, 2 tahun yg lalu kita masih jadi pengisi acara ya. Kamu jadi MC dan aku ikut paduan suara. Sekarang aku nonton ndak bisa bareng kamu.
Faqih, aku kangen banget sama kamu. Pengen curhat kayak dulu, pengen nyanyi bareng sama kamu, pengen main jutek"an lagi. Rindu.
Ndak terasa udah setahun ya kamu pergi. Time flies banget.
Aku masih inget pas kita musuhan waktu SMP. Aku kekanak"an banget ya waktu itu, cuma masalah sepele kita ndak nyapa sampai SMA. Dan di SMA kita malah satu kelas. Itu namanya jodoh persahabatan.
Dan di kelas, kita duduk bersebelahan. Cocok deh!
Kamu sering curhat pas dulu lagi sama alivia, aku juga suka curhat waktu masih sama arep.
Sampai kelas XII kita masih suka curhat"an, ya toh?
Tapi sekarang...
Aku ndak bisa curhat sama siapa".
Kamu emang cuma sahabatku, tapi kenapa aku ngerasa kehilangan banget?
Ternyata lebih sakit ditinggal selamanya daripada diputusin pacar.
Sekarang yg ku bisa cuma ngedoain kamu. Aku kangen pun cuma bisa disampein lewat doa.
Kamu baik" ya di sana. Allah sayang kamu, makanya Allah cepet" manggil kamu :')
Kapan" mampir lagi di mimpiku, tapi sambil ngomong juga ya.. Aku kangen suaramu.

Sayang kamu, sobatku. You are my soulmate until whenever :')

Kamis, 08 Januari 2015

Tak Kan Terganti Last Part

            Keesokan harinya, aku mendapat BBM mengejutkan dari temanku.

            “Ti, Faqih meninggal ya?”

            “Kaga! Kata siapa? Semalem dia baik-baik aja kok! Jangan ngasih berita sembarangan!”

            “Ya maaf, aku kan tau dari temen-temen yang lain.”

            “Tunggu aku tanya yang lain. Pastiin dulu beritanya bener apa nggak!”

            Jantungku berdegup kencang membaca BBM itu. Aku memastikan kebenaran hal itu. Semua teman-teman ku hubungi, namun mereka bilang tak tahu soal berita itu. Hingga akhirnya, aku mengetahui bahwa berita itu ternyata benar.

            Kakiku lemas, hingga tak bisa menopang badanku. Aku terjatuh lemas, HPku terbanting keras ke lantai. Mama yang kaget mendengarnya segera menghampiriku, Mama berteriak memanggil Papa. Mereka berdua menanyakan apa yang terjadi hingga aku seperti ini.

        Aku menangis menceritakan berita duka itu. Aku memeluk Mama erat, Mama hanya bisa menenangkanku, tak tahu harus bagaimana. Lalu Papa menghubungi Ardi untuk datang ke rumah, mengantarkan aku ke rumah Faqih. Karena Papa tahu kondisiku sedang labil, sehingga akan berbahaya jika aku mengendarai motor sendirian.

          Ardi datang dengan terburu-buru, dia juga telah mendengar kabar tentang Faqih.  Dia mencoba menenangkanku, dan mengajakku ke rumah Faqih. Dia melajukan motornya pelan, masih berusaha untuk menghiburku. Aku menghargai usahanya, jadi aku berhenti menangis. Tak dapat dipungkiri bahwa Ardi juga merasa sangat kehilangan Faqih.

      Sesampainya di rumah Faqih, ternyata telah banyak teman-temanku yang datang. Ardi menyuruhku untuk berkumpul bersama teman-teman perempuanku yang lain. Dia mengacak-acak kerudungku sambil berkata, “Sayangku kuat, jangan nangis lagi. Allah sayang sama Faqih, jadi Faqih dipanggil untuk menghadap-Nya biar dia nggak tersiksa sama penyakitnya. Percaya hal itu, Sayang. Biar kamu nggak terus-terusan sedih.”

         Aku mengangguk, namun masih tak bisa menahan air mataku kala melihat halaman rumah Faqih. Jenazah Faqih masih dalam perjalanan dari Surabaya. Aku melihat sekeliling, banyak yang datang. Teman satu kelas, teman satu sekolah, teman basketnya, dan guru-guru kami pun berdatangan memenuhi halaman rumahnya.

         Masih terngiang dengan jelas ucapan Faqih dimana ia ingin pulang hari ini. Mungkin yang dimaksud pulang adalah kembali ke pangkuan Ilahi. Kemarin dia terlihat sembuh sebagai ucapan selamat tinggal agar aku tidak sedih sebelum ditinggalkannya. Allah Maha Besar, hanya kepada-Mu lah kami serahkan hidup dan mati.

            Pukul 13.05 jenazah Faqih datang bersama dengan keluarganya. Tangis pun pecah. Saat jenazah dimasukkan ke dalam rumah, banyak yang ingin melihatnya. Mereka berdesak-desakan. Aku yang berada di depan jenazah hanya terdiam mematung melihat sosok yang ku sayang terbujur kaku tak bernyawa. Hampir aku pingsan, jika Ardi tak segera menopang badanku dan menyuruhku untuk duduk dan minum. Aku menyandarkan kepalaku yang pusing di bahu kekasihku.

            Guruku mengomando untuk mengaji yasin. Aku mengaji sambil menangis tersedu-sedu. Tak dapat ku bending lagi air mata ini melihat sosok di depanku ini. Tak ada lagi sosok sepertinya yang akan menjadi tempat curhatku dikala aku sedang bertengkar dengan Ardi, tak ada lagi yang akan menemuiku di rumah bersama Ardi, tak ada lagi yang akan memanggilku dari seberang jendela kelasnya. Harapanku untuk bisa terus bersamanya ternyata tak bisa terwujud. Allah punya rencana lain yang lebih indah, yaitu memanggil Faqih untuk berada di sisi-Nya.

         Terlihat Umik pingsan beberapa kali kala melihat sosok anak bungsunya. Aku tak tega melihatnya seperti itu. Aku hanya tertunduk memanjatkan doa untuk Faqih. Beberapa menit kemudian, jenazah dimandikan oleh keluarga dan dishalati. Setelah semua persiapan selesai, jenazah di bawa ke pembaringan terakhirnya. Ardi melarangku untuk ikut, aku menurut. Karena aku tahu, aku tak akan mampu melihatnya dikuburkan.

      Aku menghapiri Umik yang terbaring di kamarnya. Aku memeluknya erat, sambil menenangkannya. Umik terlihat tak berdaya. Aku mengerti apa yang dirasakannya. Karena selama ini yang akan merawat Umik sakit adalah Faqih, karena kakak sulung Faqih sedang kuliah di luar kota.

         Umik menyuruhku pulang karena sudah sore. Aku mengiyakan dan berjanji akan tetap menjenguk Umik, karena aku telah menganggapnya sebagai ibuku sendiri. Langkahku gontai saat Irvan mengajakku pulang. Tiba-tiba aku pingsan. Di sana aku mendengar seseorang memanggil-manggil namaku.

            “Tia.. Tia.. Ti.. Tia..?”

           Aku tersadar dari lamunanku. Ternyata itu semua hanyalah flash back. Aku masih terduduk di depan pusara Faqih. Yang memanggil namaku ternyata Ardi. Dia terlihat cemas melihatku melamun dari tadi.

            “Sayang nggak papa, kan? Aku khawatir, karena dari tadi kamu diam.”

            “Iya, maaf. Aku cuma ingat sama almarhum.”

            “Pulang, yuk! Udah hampir maghrib. Nanti orang tuamu mikir aku nyulik kamu.”

            “Pamitan dulu sama Faqih. Faqihul Muqoddam, sahabatku yang sudah dipanggil Allah, kami pamit, ya. Doa kami selalu buat kamu. Kamu tenang aja, aku selalu jagain Umik. Assalamualaikum ya ahlil kubur.”

            “Pamit, Bro. Aku bakal selalu ingat nasihatmu buat selalu jagain Tia.”

            Angin semilir mengikuti langkah kami meninggalkan pemakaman. Seperti hendak mengatakan hati-hati di jalan.





            Cerpen ini ku persembahkan untuk mengenang sahabtku yang telas pergi menghadap Ilahi. Faqihul Muqoddam. Kamu sahabat terbaikku, aku tak akan pernah melupakanmu. Dulu, aku sering mengolok-olokmu, curhat, dan bahkan pernah bermusuhan. Tapi kini yang ku bisa hanya melihat fotomu dan berdoa untuk kebaikanmu di sana.
            Terima kasih, kamu masih datang ke mimpiku waktu itu dengan senyuman khasmu :)
            Semoga kau tenang di sana, Qih. We Love You :)

Tak Kan Terganti Part IV

          Namun, kenyataan tak seindah harapanku. Seminggu setelah penampilannya, Faqih masuk rumah sakit karena terserang DBD. Dia tak member tahuku, aku tahu dari teman sekelasnya yang mengajakku untuk menjenguknya. Aku menjenguknya bersama teman-teman sekelasnya. Ardi tak dapat ikut karena harus menjaga toko di rumahnya.

            “Assalamualaikum.” sapaku.

            “Waalaikumsalam, Nak Tia. Sini duduk, Nak. Umik lama nggak ketemu kamu.”

            “Sibuk pacaran itu, Mik!” Faqih menyahut.

            “Yang lagi sakit nggak usah ikut-ikut.”

            “Nak Ardi kemana? Tumben nggak bareng?”

            “Jaga toko, Mik. Ibu sama Bapak keluar katanya.”

            Begitulah percakapan yang terjadi selama di rumah sakit. Faqih terlihat semakin kurus dan matanya cekung. Aku semakin khawatir mengapa setiap tahun kondisinya semakin memburuk. Setelah satu jam lamanya, aku berpamitan untuk pulang karena hari sudah sore.

           Sesampainya di rumah, Mama menanyakan kondisi Faqih. Aku mengutarakan kekhawatiranku pada Mama. Beliau membelai kerudungku seraya menenangkanku.

            “Doakan saja semoga Faqih cepat sembuh, Sayang.”

            “Iya, Ma.”


            Seminggu kemudian, kondisi Faqih semakin memburuk. Sehingga dia harus dirujuk ke rumah sakit di Surabaya. Berita yang semakin membuatku kaget adalah Faqih terkena Hepatitis B, bukan DBD. Tak sampai situ berita buruk yang ku dapatkan, diagnosa terbaru menyatakan bahwa Faqih terkena Leukimia stadium III.

            Akhirnya aku sadar akan tanda-tanda yang dialaminya semenjak kelas X. Pusing, mudah lelah, hingga mengeluh persendiannya ngilu. Seandainya dari dulu dia mau memeriksakan kondisinya, mungkin penyakitnya bisa segera terdeketsi dan bisa disembuhkan dengan cepat.

            Sore itu aku memutuskan untuk menjenguk Faqih di rumah sakit Surabaya. Kebetulan Papa sedang libur, jadi aku pergi bersama Papa, Mama, dan Ardi. Sepanjang perjalanan aku tak bisa tenang. Ardi hanya bisa menghela nafas melihatku gelisah seperti itu. Dia coba menghiburku, namun hal itu tidak terlalu berhasil. Aku tetap saja gelisah.

            Perjalanan dari rumah kami menuju rumah sakit sekitar 2 jam karena kala itu macet sepanjang jalan menuju rumah sakit. Sesampainya di RS, Mama memegang pundakku dan berbisik.

            “Nanti kamu jangan nangis, ya. Kamu harus kasih dia semangat biar cepet sembuh. Pokoknya Tia nggak boleh nunjukin kalau khawatir sama Faqih. Karena Faqih bakal sedih kalau tau kamu gelisah.” aku hanya mengangguk mengiyakan kata-kata Mama.

            “Sayang yang kuat, ya.” Ardi ikut berbisik di telingaku. Aku hanya tersenyum.

            “Assalamualaikum.”

            “Waalaikumsalam. Qih, ini ada Tia sama keluarganya, Nak.” sambut Abah.

            Hatiku mencelos melihat Faqih yang sekarang. Tubuhnya disambungkan oleh banyak selang. Yang aku kenali hanya selang infus saja. Wajahnya pucat sekali, dan badannya sangat kurus, cekungan di matanya semakin tampak. Dan dia hanya terbaring lesu melihat kedatanganku. Air mataku hampir tak dapat terbendung lagi.

            “Sehat, Bro? Tia gimana di sekolah? Pasti cerewet ya, Bro?” tanya Faqih pada Irvan.

            “Sehat, alhamdulillah. Dia cerewet itu normal, Bro. Kalau dia diam itu yang nyeremin.” Ardi nyengir.

            “Duh, dua fansku ini kebiasaan ya suka ngomongin aku.” aku berkacak pinggang.

            “Ar, kamu nggak denger ada suara-suara aneh barusan? Aku merinding nih.”

            “Faqih! Ku gigit ntar kamu, ya!”

            ”Aww, atuuut. Hahahaha."

            “Nak Tia, Faqih belum makan dari tadi. Mungkin kalau disuapin Nak Tia Faqih mau makan?” Aku melotot melihat Faqih. Yang dimaksud hanya nyengir. Lalu Umik menyodorkan semangkok bubur.
            “Ti, aku belum ngurus SNMPTN, gimana dong?” tanyanya di sela-sela aku menyuapinya.

            “Gampang, nanti aku sama Ardi yang ngurusin. Ya kan?” tanyaku pada Ardi. Yang ditanya tersenyum mengiyakan ucapanku.

            “Ti, aku besok mau pulang. Katanya Senin ada Maulid Nabi ya di sekolah?”

         “Iya. Makanya, makan yang banyak dan minum obat dari dokter biar besok beneran bisa pulang. Habisin buburnya. Senin nanti kita makan tumpeng bareng-bareng. Oke?”

            "Oke!"


           Selepas shalat asar, kami pamit pulang. Dan kebetulan Faqih sudah mengantuk karena efek obat. Ada sedikit kelegaan di hati melihatnya bisa tertawa seperti semula meskipun dengan kondisi yang seperti sekarang. Karena saat teman-teman yang lain menjenguknya, mereka mengatakan bahwa Faqih hanya diam saja, tak dapat tertawa. Mungkin hanya tersenyum sebentar. Aku percaya bahwa Faqih akan sembuh dan bisa bersekolah seperti semula.

            Di perjalanan, Papa mengajak kami makan di sebuah restoran. Saat yang sangat langka, dimana Papa, Mama, dan aku bisa makan di luar bersama dan ditambah dengan kehadiran kekasihku. Menambah kebahagiaanku malam ini.

            Next :)

Tak Kan Terganti Part III

           Besoknya, Faqih tidak masuk sekolah. Menurut teman sekelasnya, tadi sewaktu olahraga Faqih hampir pingsan di lapangan dan teman-temannya menggotongnya ke rumahnya yang memang dekat.

            Sepanjang hari aku memikirkan Faqih. Aku khawatir terjadi sesuatu padanya. Karena akhir-akhir ini dia sering mengeluh pusing. Ardi yang mengerti raut wajahku mencoba menghiburku. Dia mengajakku untuk menjenguk Faqih sepulang sekolah.

       Sepulang sekolah, kami langsung menuju rumah Faqih. Umik membukakan pintu dan mempersilahkan kami masuk ke kamar Faqih.

          “Faqih itu bandel, Nak Tia. Umik sudah bilang jangan sering-sering begadang, tapi nggak didengerin. Jadinya gitu sekarang.” Umik mengomel. Kami bertiga hanya tertawa. Kemudian Umik meninggalkan kami bertiga setelah menyuguhkan es teh dan beberapa camilan.

            “He he, kenapa gitu wajahmu, Ti?” Faqih menggodaku.

            “Dia kepikiran kamu seharian, Qih. Sampai hampir nggak konsen ngerjain ulangan Biologi. Dan korbannya, aku dicuekin seharian. Sakitnya tuh di sini.” Ardi mulai mendramatisir.

            “Nggak usah alay deh, Ar! Siapa juga yang nyuekin kamu? Jangan percaya, Qih. Dia kumat. Ngomong-ngomong, kamu pusing beneran gara-gara sering begadang? Emang udah periksa?”

           “Alah, nggak usah. Cuma pusing aja. Ini udah mendingan kok pusingnya. Kayaknya aku kualat gara-gara nggak dengerin Umik. Ha ha.”

            “Syukur lah, Bro kalau kamu nggak papa.” Ardi menyahut. “Pulang yuk, Ti. Faqih kan mau istirahat.”

            “Kamu besok masuk kan, Qih?” tanyaku tanpa menjawab ajakan Ardi.

            “InsyaAllah. Tapi kalau masih pusing ya nggak masuk.” jawabnya.

        “Kalau kamu nggak masuk, aku ke sini lagi ya. Yaudah, aku pulang, cepet sembuh, Hul. Jangan bikin aku tambah khawatir.” ucapku.
            
            
         Setelah keluar dari rumah Faqih, Ardi menjadi diam. Raut wajahnya pun berubah. Aku bingung ada apa dengannya.

            “Sayang, kamu kenapa?”

            “Aku mau tanya sama kamu. Jawab yang jujur. Kamu sayang sama aku?”

            “Kok masih tanya? Ya jelas sayang lha, Ar. Ada apa, hm?”

            “Kamu.. Kamu sayang sama Faqih?”

            Aku kaget mendengar pertanyaan Ardi, “Iya. Tapi nggak lebih dari sahabat. Pacarku ya tetep kamu, Sayang.”

            “Maaf. Aku cemburu sama Faqih. Aku cemburu karena tadi kamu perhatian banget sama dia. Dan kamu nyuekin aku tadi. Maaf aku cemburu.”

            “Sayang, maaf ya udah bikin kamu sedih. Maaf banget. Aku nggak ada niatan gitu. Maaf tadi sempat nyuekin kamu. Dan maaf mungkin aku terlalu dekat sama Faqih sampai kamu cemburu. Maaf.”

        Kemudan Ardi menghentikan motornya di bawah pohon yang rindang. Dia turun dan menatapku lekat. Aku menangis menatap mata sayunya. Aku tertunduk, tak kuasa lagi menatapnya karena telah membuatnya sedih.

            “Aku minta maaf juga udah salah paham sama kamu dan Faqih. Aku cuma.. Cuma nggak mau kehilangan kamu. Maaf.”

            “Iya, aku ngerti. Aku juga minta maaf ya, Sayang. Janji deh kejadian kayak gini nggak bakal keulang lagi. Pulang, yuk! Nanti Mama ngira kamu nyulik aku.” candaku.

        
        Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun. Kini aku telah menginjak kelas XII. Yang mana tinggal menghitung hari saja aku akan meninggalkan sekolah ini dan melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi.

Semenjak kejadian waktu itu. Ardi semakin akrab dengan Faqih. Terkadang Ardi lebih khusuk bermain dengan Faqih daripada denganku. Aku senang melihat dua orang yang ku sayang akur. Aku bersyukur bisa memiliki sahabat sebaik Faqih dan kekasih sehebat Ardi yang pengertian.


Di suatu siang, Faqih menyuruhku untuk datang ke kelasnya karena ada yang ingin dia tanyakan.

“Apa, Hul?”

“Ardi mana?”

“Dia dispen, ikut lomba futsal.”

“Kok nggak ikut dispen kamu, Ti? Katanya setia sama Ardi?”

“Ya terus ngapain aku dispen? Setia nggak harus selalu ngekor kemanapun dia pergi, kali! Oh ya, kamu mau tanya apa?”

“Sendiku kok ngilu ya, Ti?”

“Sejak kapan? Sudah periksa?”

“Dari minggu lalu sih. Belum. Nanti habis UTS aku ke dokter tulang. Kayaknya aku flu tulang deh, Ti.”

“Mungkin. Ya udah, beneran periksa lho ya ke dokter? Aku masuk dulu, mau nyiapin LJK.”


Setelah serangkaian UTS usai, Faqih memeriksakan keluhannya itu ke dokter tulang. Apa yang diduga olehnya memang benar, dia terkena flu tulang. Aku menganggap itu hal yang tidak terlalu serius karena kegiatan Faqih akhir-akhir ini memang padat menjelang tahun baru.

Minggu-minggu berlalu, akhirnya kita tiba di penghujung tahun 2013. Aku dan Ardi datang untuk menyaksikan penampilan Faqih di alun-alun kota sebagai peniup terompet. Penampilannya dan grupnya mendapat tepuk tangan yang meriah dari para penonton.

Setelah penampilan Faqih, Ardi mengajakku untuk menemuinya sekalian berpamitan karena malam semakin larut.

“Good job, Bro!” puji Ardi.

“Ah, bisa aja kamu, Bro! Good job juga atas kemenangan futsalnya.” Faqih memuji Ardi juga.

“Ehem, aku dicuekin.” aku memotong puji-memuji dua lelaki di depanku ini.

“Ciee cemburu.” Faqih dan Ardi menggodaku bersamaan.

“Kompak ya sekarang. Dasar cowok! Btw, keren, Qih!” ucapku sambil mengacungkan jempol.

“Syukron. Aku emang…”

“Terompetnya. Ha ha ha.” ledekku. Kami bertiga tertawa terbahak-bahak malam itu. Aku berharap agar kebersamaan ini bisa berlanjut untuk esok hari.


Akankah harapan Tia bisa terwujud?

Tak Kan Terganti Part II

            “Siapa?” tanyaku penasaran.

            “Sama …” lagi-lagi dia tak melanjutkan kata-katanya.

            “Siapa, Qih?” aku semakin penasaran.

            “Sama Rahma, Ti.” jawabnya malu-malu.

         “Haah? Rahma teman sekelas? Nggak salah?” tanyaku tak percaya. Rahma terkenal dengan sifat “gonta-ganti” pacar. Hampir seluruh sekolah tahu akan sifatnya. Tapi untunglah dia tidak mengatakan menyukaiku.

         “Kenapa, Ti? Aku nggak lihat dia seperti teman-teman lihat dia. Aku yakin dia orang yang baik.” sahutnya penuh keyakinan.

            “Oh. Ya sudah kalau kamu memang yakin dia gitu. Deketin, gih! Mumpung sudah putus sama Rifki.” ucapku.

           “Doain ya, Ti. Aku bakal bikin dia berubah. Aku harap bisa buat dia berhenti dari sifat jeleknya itu.” Faqih benar-benar bersemangat dengan tekadnya.

            “Aamiin.” aku mengamini tekadnya. Kemudian kami kembali ke kelas karena bel masuk telah berbunyi. Selama di kelas, Faqih terus bercerita tentang ketertarikannya pada Rahma di sela-sela pelajaran. Aku hanya mendengarkan sambil mengerjakan tugas matematika dari Bu Sosi. Sebenarnya aku nggak terlalu suka jika Faqih harus jatuh cinta sama Rahma. Karena sifatnya yang sering bergonta-ganti pasanganlah yang paling membuatku tidak terlalu menyukainya. Tapi aku juga tidak punya hak apa-apa untuk melarangnya. Yah, semoga saja apa yang dikatakan Faqih tentang Rahma benar. Semoga.



            Tak terasa, ujian nasional sudah dekat. Semuanya bersiap-siap, baik persiapan rohani maupun jasmani. Pihak sekolah pun telah melakukan berbagai upaya untuk mendukung kesuksesan murid-muridnya. Doa dari Papa dan Mama juga selalu dipanjatkan untuk kesuksesanku.

            Dan akhirnya, hari yang dinantikan oleh seluruh siswa SMP se-Indonesia pun tiba. Tanggal 25 April adalah hari pertama UN. Mata pelajaran yang diujikan adalah Bahasa Indonesia. Aku dapat mengerjakannya dengan lancar. Begitu pun untuk hari-hari selanjutnya. Hingga akhirnya selesailah sudah masa-masa mencekam, namun aku dapat melaluinya dengan lancar. Alhamdulillah.

            Liburan panjang pun tiba, tetapi tidak sepenuhnya aku bisa berlibur. Karena masih harus menyiapkan dokumen-dokumen untuk mendaftar ke SMA. Yang ku lakukan selama liburan hanyalah membantu Mama di rumah dan bersepeda ria bersama Faqih. Banyak yang mengira kami adalah sepasang kekasih karena melihat kedekatan kami. Tetapi percayalah, rasa ini hanyalah rasa sayangku ini hanyalah perasaan terhadap seorang sahabat saja. Tidak lebih.

            Besok adalah hari diumumkannya hasil kelulusan. Perasaan tak karuan menghinggapiku. Mama cemas melihatku gelisah, “Sayang, nggak usah cemas. Mama yakin kamu lulus dengan nilai yang memuaskan.”

            “Anak Papa kan pinter, pasti bisa kok!” sambung Papa.

           “Aamiin. Makasih supportnya, Ma, Pa.” kemudian aku bergegas masuk ke dalam kamarku dan mencoba untuk tidur.



            Keesokan harinya …
           
            “Siap denger pengumuman?” Faqih menyapaku di depan kelas.

            “Insyaallah. Jam 8 kan pengumumannya?”

            “Yup. Yuk langsung ke Graha, kita nunggu di sana aja.”

          Di perjalanan menuju Graha, Faqih mendominasi pembicaraan. Topik yang dibahas tak lain dan tak bukan adalah Rahma. Aku hanya mengangguk-angguk mendengarnya bercerita dengan sangat antusias.

        Sesampainya di Graha, kami bertemu dengan Rahma. Aku pun mengajaknya untuk duduk bersama kami. Faqih tampak senang sekali, namun tak bisa dipungkiri dia juga gugup. Semoga kamu bisa bahagia, Qih. Ucapku dalam hati.

          Kini tiba saatnya bagi Kepala Sekolah mengumumkan kelulusan kami. Semua diam menyimak. Aku menggenggam tanganku erat, dentuman jantungku berdetak semakin kencang. Tak habis-habisnya aku berdzikir dan bershalawat.

            “Bismillahirrohmanirrohim. Amplop ini Bapak buka sekarang. Semoga kalian diberikan yang terbaik oleh Allah SWT.” Pak Roib membuka pidatonya.

          “Dengan surat ini, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sampang menyatakan bahwa seluruh siswa SMPN 1 Sampang dinyatakan lulus 100%”

            Kebisuan itu pun pecah setelah Pak Roib membacakan surat keputusan. Tangis haru tak luput mewarnai ekspresi kegembiraan teman-temanku. Segera aku memberi kabar kepada Mama dan Papa melalui BBM.

            Setelah pengumuman kelulusan, aku memutuskan untuk langsung pulang. Aku melihat Faqih masih bersama Rahma. Karena tak ingin mengganggu kesenangan Faqih, aku memutuskan untuk pulang sendirian.

            Hari-hari berikutnya Faqih tak menampakkan batang hidungnya. Tak ada kabar satu pun darinya. Sempat ada rasa kesal di hati, namun aku berpikir lagi bahwa mungkin dia sedang berusaha untuk mendapatkan perhatian Rahma.

            “Sudah seminggu Mama nggak ketemu Faqih. Kalian tengkar?”

            “Nggak kok, Ma. Faqih lagi PDKT sama Rahma mungkin.”

            “Cemburu?”
            “Mama ngeledek, deh. Kan aku udah bilang kalau  kita cuma sahabatan aja.”

            “Iya.. Iya.. Mama bercanda kok, Sayang.” Mama berlalu sambil tertawa.

        Keesokan harinya Faqih muncul. Dia datang ke rumah pagi-pagi sekali dengan wajah sumringah.

            “Ti.. Aku mau cerita.” ucapnya.

            “Ya.”

            “Kok cuek, Ti?”

            “Nggak. Nggak cuek, kok. Cuma lagi kesel aja ada yang ngelupain aku gara-gara udah deket sama gebetannya.”

            “He he. Ya maaf, Ti. Namanya juga lagi jatuh cinta. Gini lho, Ti . . .”

            Setelah selesai menceritakan semua yang dirasakan dan dialaminya, Faqih pun pamit pulang. Aku senang melihat ada kemajuan untuk bisa mendapatkan hati Rahma. Semoga saja mereka bisa bersatu.


           
            Dan kini adalah awal MOS di SMAku. Tak terasa ternyata aku sudah SMA. Yang paling tak terduga adalah Faqih, Rahma, dan aku satu kelas lagi. Mungkin ini yang dinamakan jodoh, pikirku.

            Seminggu setelah MOS, Faqih memberitahukan bahwa dia telah berpacaran dengan Rahma. Mereka tampak bahagia. Aku pun begitu, telah menemukan tembatan hati. Dia adalah Ardi, siswa kelas sebelah.

            Takdir memang tak ada yang tahu. Siapa yang akan mengira bahwa hubungan Faqih dan Rahma hanya bertahan 5 bulan saja. Aku sangat marah mendengar kabar itu. Penyebabnya adalah Rahma berselingkuh dengan mantan kekasihnya. Ternyata perkiraan awalku memang benar, seorang Rahma tak akan pernah bisa berubah.

            Aku melihat perubahan yang sangat drastis dari Faqih. Kini tubuhnya semakin kurus, kantung matanya semakin menghitam, dan dia tak seceria dulu. Dia pun sering mengeluh pusing dan badannya lemas hingga harus meminum multivitamin setiap hari. Aku menceritakan hal ini pada kekasihku, dan memintanya untuk menghibur Faqih karena mungkin Ardi lebih mengerti bagaimana perasaan seorang lelaki itu.

            “Aku kasian sama Faqih, Ar.”

            “Iya, aku ngerti gimana perasaanmu. Nanti aku coba buat hibur dia. Kamu jangan ikutan sedih dong, Sayang.”

           
            Setahun kemudian, Faqih, Rahma, dan aku pisah kelas. Aku bersyukur karena dengan hal ini mungkin bisa membuat sakit hati Faqih sedikit membaik. Faqih mulai ceria lagi, meskipun tak seperti dulu, tapi setidaknya tak ada wajah murung yang menghiasi wajahnya. Tetapi dia mulai jarang pergi ke rumahku, mungkin karena ada Ardi.

            “Qihul, kok sekarang jarang main ke rumah?” tanyaku saat menghampirinya yang sedang mengerjakan soal matematika.

            “Sibuk, Ti. Biasa, artis dadakan. Ha ha.”

            “GRnya.”

        “Ha ha. Kenapa? Lagian kan udah ada Ardi, Ti? Masih kurang sama satu lelaki? Ih, kamu nggak chili-chilian, kan?”

            “Jidatmu, Qih! Sembarangan aja!”

            “Ulala, ngambek ciee. Iya nanti malam aku ke rumahmu. Ardil ke sana juga, nggak?”

            “Iya, mau tanya PR Bahasa Inggris katanya. Yaudah, aku balik dulu. Awas ya kalo nggak ke rumah!” aku mengepalkan tanganku di depan wajah Faqih. Dia hanya tertawa terbahak-bahak melihat tingkahku.

           
            Malamnya, Faqih benar-benar pergi ke rumah. Malam ini aku sendirian, karena Mama pergi bersama Papa menjenguk Tante yang baru lahiran. Tapi untunglah ada dua lelaki yang sudah dipercaya oleh orang tuaku untuk menjagaku.

            “Aku kok masih sering pusing sekarang ya?” tanya Faqih di sela-sela perbincangan.

        “Perlu sentuhan wanita tuh, Qih.” Ard. menimpali seraya tertawa terbahak-bahak. Aku mencubit lengannya karena menjawab seperti itu.

            “Udah periksa?” tanyaku.

            “Belum sih, tapi mungkin karena aku kecapekan, Ti. Usulanmu ada benernya juga tuh, Ar. Ha ha.”

            “Dasar laki-laki”. gerutuku dalam hati.


            Mereka menemaniku sampai kedua orang tuaku pulang. Jam menunjukkan pukul 22.05, dan orang tuaku pun tiba.

            “Tuh Mama sama Papa!” seru Ardi.

            “Aku pamit ya, Ti.” ucap Faqih.


            “Aku juga.” Ardi pun mengikuti Faqih.

            “Iya. Tunggu Mama sama Papa masuk dulu, dong. Sekalian kalian pamitan sama mereka.” sahutku.

            “Assalamualaikum. Lho, kalian belum pulang?” tanya Papa.

            “Waalaikumsalam. Kita nungguin Oom sama Tante. Kasian Tia kalau sendirian, Om. Maaf kalau kami belum pulang jam segini.” kata Ardi.

            “Oh, nggak papa, Nak. Malah Oom mau berterima kasih sama kalian sudah mau menemani Tia dan menunggu Oom dan Tante pulang.”

            “Kami pamit dulu, Om, Tan. Pulang ya, Ti.” pamit Faqih.

            “See you.” Ardi berkedip nakal kepadaku.

        
            Lanjut part selanjutnya :)