Selasa, 19 Mei 2015

How to begin write?

          Do you want to be a writer? What can you do to be a good writer? Start to write a paragraph. But how do we begin to write a paragraph? These are the steps how to start write a paragraph.

1.     Discovering ideas
a.    No ideas at all? Try freewriting (freewriting is not a draft. It can help after you have some direction)
b.    Clustering. This method asks you to write a single word or phrase in the center of a piece of paper and then to write down around it any word or phrase that has a relation with.
c.    Brainstorming. You list in a word or phrase every idea that occurs to you when you think about the general topic at hand.
d.    Journalist’s question. You can ask yourself the classic question like what, where, when, who, why, and how.

2.    Organizing ideas
You must decide on a central point. A rough topic sentence for a paragraph or a working thesis sentence for an essay in the form of the topic, plus a statement that expresses an opinion, attitude, or feeling about it.

3.    Drafting
With your material in hand and the overall shape of your paper determined, you can confidently begin the first draft. In drafting, keep self-criticism to a minimum level.

4.    Revising
The process of revision requires a critical frame of mind, a willingness to look closely at what we have written, knowing that it can be improved. As you move through your draft, by yourself and others, you will be looking to add, shift, cut, and rearrange material.

5.    Editing
After revise your paper several times for materials, organization, and style, you must focus on mechanics: grammar, spelling, and punctuation.

6.    Proofreading

This step is the last step for preparing a paper. Assuming you have closely edited your last draft and caught all the mechanical errors possible.

Rehat

Yah, berhenti sejenak dari dunia cerpen. Sibuk sama buletin Fanatik dan tugas kuliah. Jadi postingan selanjutnya seputar materi di kuliahku aja deh! :D

Minggu, 17 Mei 2015

This is Love V

Aku meronta dan mencoba melarikan diri dari mobilnya. Namun Danu menamparku keras. Perih. Bibirku berdarah. Tak habis akal, aku menendangnya. Tapi lagi-lagi Danu menamparku. Lalu ia melajukan mobilnya dengan sangat cepat. Aku berteriak dan mencoba memukulnya. Usahaku sia-sia saja karena tenaganya memang lebih besar dariku.
            “Cewek goblok! Kalo kamu mau balikan sama aku, aku nggak akan senekat ini sama kamu. Aku ini sayang banget sama kamu, Zahra. Aku nggak bakal rela kamu jadi milik orang lain. Aku rela ngelakuin apa aja asal kamu jadi milikku lagi.”
            “Gila! Kamu gila, Danu! Balikin aku ke kos, Dan!”
            Tiba-tiba Danu menghentikan mobilnya di tengah jalan yang sangat sepi. Aku menjadi semakin takut padanya. Aku takut Danu melakukan hal yang tidak-tidak padaku. “Ya Allah, tolong hambamu ini. Tolong Zahra Ya Allah. Zahra takut. Mama, Adit, Elin, siapa pun tolong Zahra.” rintihku dalam hati.
            “Aku gila karena rasa sayangku sama kamu itu besar banget, Zahra. Ayo lah kita balikan. Aku janji nggak bakal ngulangin kesalahanku lagi. Kamu bakal aku perlakuin layaknya ratu. Kamu mau minta apa pasti aku beliin. Bukannya cewek jaman sekarang paling suka sama yang namanya shopping?”
            Plak!!
            “Aku nggak sematre itu! Jangan samakan aku sama cewek matre di luar sana!” aku berhasil menamparnya keras. Hal itu malah membuat Danu semakin nekat. Dia berusaha memelukku dan menciumku. Aku meronta dan mendang tubuhnya hingga ia sedikit membentur pintu.
            “Oh kamu mau main kasar, Sayang? Tapi tenang aku nggak akan bales kasar. Kita lakuinnya santai aja. Lagian di sini nggak ada orang. Nggak akan ada yang tau.”
            “Kamu mau apa, Danu?! Jangan macem-macem sama aku! Please!!”
            “Aku nggak bakal apa-apain kamu kok, Sayang. Kita have fun aja kok.” Saat itu Danu mencoba merobek bajuku dengan paksa. Aku berteriak, tak peduli pita suaraku akan putus. Yang jelas usaha yang paling bisa ku lakukan hanyalah berteriak sekeras-kerasnya.
            Prang!! Kaca mobil sebelah kanan pecah. Danu ditarik oleh seseorang. Siapa? Aku penasaran. Tapi aku juga takut kalau itu juga orang jahat. Tapi sayup-sayup aku mendengar suara seseorang yang ku kenal. Apakah itu Adit?
            “Brengsek, lu! Lu apain pacar gua, ha?! Gila, lu!”
Aku mencoba mengintip. Itu Adit! Pukulan bertubi-tubi mendarat di wajah dan perut Danu. Aku khawatir Adit kalap, segera aku melerainya.
“Udah, Dit. Jangan diterusin. Kita lapor polisi aja.”
“Halo, kantor polisi? Saya mau melaporkan telah terjadi kasus penculikan, Pak. Kami sekarang berada di … ” setelah menelpon polisi, Adit mengikat tangan dan kaki Danu dengan tali sepatunya, dan dia dimasukkan ke dalam mobil agar tak bisa kabur.
“Kamu nggak papa kan, Sayang? Kamu nggak diapa-apain kan sama dia? Itu bibir kamu kenapa berdarah, Sayang? Pipi kamu juga merah. Ya ampun, aku lalai ngejaga kamu. Maaf, Sayang.” ada nada menyesal di sana.
“Aku nggak papa kok. Makasih udah dating nyelametin aku. Aku nggak tau gimana jadinya kalo kamu nggak dateng. Aku takut banget tadi. Makasih ya, Sayang.” aku memeluknya erat dan menangis sesenggukan.
            “Syukurlah, Za. Tadi Elin telpon aku, bilang kalo dia denger teriakanmu. Dan waktu dia keluar, kamu udah masuk ke dalam mobil. Untung dia sempat ingat plat nomor mobilnya Danu. Dan kebetulan juga aku ada di WDK. Aku takut nggak bakal ngeliat kamu lagi. Alhamdulillah kamu masih dijaga sama Allah.”
            Beberapa menint kemudian rombongan polisi datang dan meringkus Danu. Mereka juga meminta kami untuk ikut ke kantor polisi sebagai saksi. Setelah selesai diinterogasi, Adit dan aku diperbolehkan pulang. And luckily, kami akan dikawal oleh 2 orang polisi. Saat hendak meninggalkan kantor polisi, Danu kembali berulah.
            “Zahra! Aku cinta sama kamu! Aku nggak rela kamu jadi milik orang lain! Zahra jangan tinggalin aku! Aku sayang kamu, Zahra!” teriaknya dari dalam sel.
            “Cowok psikopat kayak lu nggak pantes ngomong sayang sama Zahra! Kalo emang lu sayang sama dia, lu nggak bakal ngelakuin hal nekat kayak tadi!” bentak Adit.
            “Udah ah, nggak usah ditanggepin. Yuk, pulang! Udah ditungguin sama pak polisinya, tuh.” ajakku.
            Dan akhirnya kami pulang dengan dikawal oleh 2 orang polisi. mereka hingga kami sampai di kosku. Di sana Elin dan teman-teman yang lain terlihat sedang menunggu kami. Saat melihatku, Elin langsung memelukku. Teman-teman yang lain juga ikut mengerumuniku. Kemudian kami berterima kasih kepada polisi yang telah mengantarku dan Adit.
            “Makasih ya girls udah mau nungguin aku. Dan makasih juga udah ngobatin aku. Tapi aku boleh minta waktu berdua aja sama Adit, please?” pintaku.
“Ya tentu boleh banget. Silahkan nikmati waktu berduaannya. Aku jamin nggak bakal ada yang ngintip kok, Za! Ya paling Cuma aku doang. Ha ha ha.” ledek Elin.
 Setelah semua teman-temanku masuk ke dalam kamar masing-masing, ku sandarkan kepala di bahu Adit. Dia merangkulku agar mendekat ke tubuhnya. Aku berusaha memejamkan mataku, mencoba menghapus kejadian yang baru saja menimpaku.
            “Aku takut, Dit. Aku nggak pernah ngebayangin Danu bakal se nekat itu.” lirihku.
“Udah, Sayang. Kamu nggak usah takut. Aku janji bakal bener-bener ngejagain kamu. Dan semoga kejadian kayak gini nggak akan terulang lagi. Aku sayang kamu, Zahra.” ia menatapku dalam. Kemudian mengecup keningku lembut.
Thanks for everything. I love you too.” aku berbisik di telinganya. Ia hanya tersenyum.
Malam yang mencekam dan takkan terlupakan. Terima kasih Ya Allah telah menyelamatkan Zahra dengan perantara Adit. Semoga kejadian seperti ini tidak pernah terjadi lagi. Elin, Adit, dan yang lain, terima kasih banyak.
Kini aku sadar, ini lah pahit manisnya cinta. Tak selamanya dalam menjalin hubungan akan berjalan mulus. Terkadang masalah pelik juga menghiasi perjalanan ini. Namun itu lah yang membuat semuanya seimbang. Ada hitam ada putih, ada siang ada malam, ada cinta ada masalah, ada masalah pasti ada jalan keluarnya. Dan jalan keluar dari masalah inilah yang akan mengubah mindset kita menjadi lebih dewasa. Dari masalah ini kita juga bisa belajar tentang bagaimana sikap pasangan kita dalam menghadapi masalah. Dewasakah dia? Kuatkah dia? Karena hanya pasangan yang benar-benar mencintai kita yang akan tetap bertahan meskipun masalah yang datang sangat pelik.


Readers, this is life. And this is love.

This is Love IV

“Zahra… Zahra… Keluar dong! Aku ada perlu, nih!”
            “Kayaknya ada yang manggil kamu tuh dari luar.” kata Elin.
            “Masa? Kok aku nggak denger?” jawabku.
            “Budeg!” ledeknya.
            “Dih! Iya aku keluarin, kalo nggak ada orang berarti kamu yang budeg.” akhirnya aku keluar dan memastikan. Ternyata orang itu… Danu! Aku memutuskan untuk kembali ke kamar.
            “Lin, Danu di luar. Kamu aja gih yang nyamperin dia. Bilang aku keluar sama Adit.” pintaku. Elin menyanggupi permintaanku.
            “Eh, berisik lu! Zahra nggak ada, dia keluar sama Mas Adit! Emang ada perlu apa sama Zahra?” teriak Elin pada Danu.
            “Bohong! Aku tau Zahra pasti di dalam. Bukan urusanmu aku ada perlu apa sama dia. Udah pergi gih! Aku perlunya sama Zahra, bukan sama kamu.” jawabnya ketus.
            “Belagu lu, boy!” Elin geram. Dia masuk ke kamar dan membanting pintu dengan keras.
            “Mantanlu belagu amat sih, Za?! Nggak punya etika apa ya? Sok-sokan banget jadi orang! Jijik gua ngeliat cowok kayak dia! Udah sono lu aja yang keluar! Kalo gua yang keluar lagi, ntar yang ada mulut gua nggak bisa direm dan bisa gua sumpah serapahin itu orang!”
            “Iya. Maaf ya, Lin. Jangan marah lagi. Kamu serem kalo kayak gini tau! Liat deh, nyamuk-nyamuk pada pergi tuh gara-gara denger kamu ngamuk. Ha ha ha.” aku mencoba mencairkan suasana. Elin gemas mendengarku berkata begitu.
            Akhirnya aku turun dan menemui Danu yang sedari tadi tak henti-hentinya memanggil-manggil namaku.
            “Ada apa, Dan? Malem-malem gini teriak-teriak di kos orang.”
            “Aku cuma mau ngomong sama kamu kalo aku masih sayang sama kamu. Aku mau kita balikan. Aku kangen kamu. Aku kangen kita yang dulu. Maafin aku, aku salah udah pernah ninggalin kamu. Maafin aku, Zahra. Sekarang aku sadar kalo kamu yang bener-bener aku sayang.”
            “Maaf, aku nggak bisa. Aku udah bilang kan kalo aku nggak mau balikan sama kamu. Kamu juga tau kalo aku udah punya pacar sekarang. Tolong jangan kayak gini.”
            “Kenapa nggak bisa? Kamu tinggal bilang iya, kan? Katanya dulu kamu sayang dan nggak bisa ngelupain aku? Pasti sekarang masih gitu, kan? Aku tau pasti Adit itu cuma pelarian doang, karena waktu itu aku masih punya pacar. Iya, kan? Kamu sama dia nggak serius, kan? Kamu cuma…”
            Plak!!!
            “Diam kamu! Aku nggak sejahat itu sama Adit. Jangan samakan aku sama kamu!” air mataku tak dapat lagi ku tahan setelah sebelumnya aku berhasil mendaratkan sebuah tamparan keras di pipi tirus Danu.
            “Tapi aku yakin kamu masih sayang sama aku. Sini aku buktiin!” Danu menyeretku ke dalam mobilnya.
            “Eliiiiin!! To.. em.. em..” seketika Danu membungkam mulutku dengan tangannya.

This is Love III

5 bulan sudah kami menjalin hubungan ini. Semuanya baik-baik saja, mungkin sesekali kami bertengkar. Namun hal itu hanya sesaat saja. Tetapi tak berselang lama ada masalah yang sedikit mengganggu hubungan kami.
            I’m still alive, I’m still alive, I’m still alive. We livin’ that, we livin’ that good life.
            “Za… Ada telpon, nih!” panggil Elin.
            Saat aku melihat layar HPku, nama yang tak pernah ku bayangkan muncul. Danu.
            “……”
            “Waalaikumsalam. Sehat. Ada apa kok nelpon aku?”
            “……”
            “Ketemu? Ngapain?”
            “……”
            “Yaudah ntar malem depan kos.”
            “Siapa? Kok rada cuek gitu? Nggak mungkin Mas Adit kan? Apa itu Danu? Kayaknya sih iya?” Elin bertanya sekaligus menjawab sendiri pertanyaannya.
            “Kamu tuh ya, kalo nanya lengkap sama jawabannya. Dasar makhluk ajaib!” aku menggeleng.
            “Ih, biarin sih! Gini-gini sahabatmu!” Elin sewot ketika aku memanggilnya makhluk ajaib.
            “Ha ha ha. Iya, Lin. Itu tadi Danu. Ngajak ketemuan. Pake acara bilang kangen segala!” aku memberitahunya tentang Danu yang ingin bertemu denganku malam ini.
            “Katanya kamu mau keluar sama Mas Adit?” tanyanya.
            “Ya emang. Yaudin ntar aku bilang aja sama Adit kalo Danu mau ketemu. Kalo sama Adit nggak kira macem-macem tuh orang.” jawabku.
            “I see. Nice idea! Paling dia minta balikan sama kamu, Za!” prediksinya.
            Aku hanya mengangkat bahuku. Entah apa yang ingin dibicarakan oleh Danu hingga ia mengajakku untuk bertemu. Hal yang paling aku benci adalah setiap mantan yang telah mencampakkanku akan muncul tiba-tiba saat aku telah memiliki pasangan.
            “Lin, aku keluar yah! Ini Adit udah di depan. Kamu nggak keluar malam ini?” pamitku.
            “Ntaran mungkin, Za! Iya hati-hati. Moga si Danu nggak cari masalah dan ngerecokin kalian. Aamiin.” sahutnya.
           
            Saat menemui Adit, aku menceritakan tentang Danu. Ekspresi Adit sedikit berubah setelah mendengar ceritaku. Aku paham, pasti dia cemburu melihatku akan bertemu dengan mantan pacarku. Tapi aku meyakinkannya bahwa tidak ada apa-apa diantara kami dan aku hanya menganggapnya sebagai seorang teman saja, tak lebih.
            15 menit kemudian Danu datang dengan wajah sumringah. Namun setelah melihat Adit di sebelahku, wajahnya menegang. Ada raut tak senang di sana.
            “Hai!” sapanya.
            “Halo! Long time no see. Kenalin pacarku, Adit. Dit kenalin, Danu.” ucapku. Keduanya saling bersalaman. Aku bisa merasakan atmosfer yang mulai menegang di antara keduanya.
            “Kok diem? Katanya mau ngomong sesuatu sama aku? Ayo ngomong! Aku ada acara nih sama Adit di kampus.” aku membuka percakapan karena Danu terlihat diam saja sesampainya di sana.
            “Em… Bang Adit, boleh ngobrol berdua sama Zahra bentar?” pintanya pada Adit.
            “Ya.” jawab Adit singkat.
            “Kok kamu ngajak pacarmu, sih? Kan aku cuma pengen ketemu kamu doang!” tegurnya.
            “Apaan, sih? Suka-suka aku, dong! Lagian bentar lagi aku mau keluar bareng dia. Jadi wajarlah kalo dia ada di sini. Emang kamu mau ngomong apa sih sampe ngelarang Adit ke sini?” aku sewot mendengarnya berkata seperti itu.
            “Ya, pokoknya gitu. Aku cuma pengen ketemu kamu. Yaudah deh, aku balik aja. Dah, cantik!” Danu mengucapkan kata terakhir dengan keras. Seakan-akan sengaja agar Adit mendengarnya. Otomatis Adit langsung bangkit dan menghampiriku.
            “Maksudnya dia apa kok kayak gitu? Nggak punya etika banget! Balik nggak pamit! Nyebelin banget sih mantanmu! Udah mukanya kayak gitu pas ngeliat aku!” geramnya.
            “Entah. Udah lah, nggak usah dipikirin soal dia. Mending kita berangkat aja, yuk! Jangan emosi ya, Sayang. Keep calm, keep calm.” aku berusaha menenangkannya.
            Hari selanjutnya, Danu mulai mencoba mendeketiku. Mulai dari sering mengirimiku pesan cinta, menungguku di depan kelas, menawariku tumpangan, dan banyak cara lainnya. Namun hal ini ku rahasiakan dari Adit karena tak ingin membuatnya marah.
            Danu terus-menerus mengirimiku pesan cinta. Aku sungguh muak dengannya. Pernah sempat terlontar kata-kata kasar dariku, tetapi dia tetap saja bertingkah seperti itu. Hingga akhirnya aku menghapusnya dari kontak BBMku. Tapi meskipun begitu, dia tetap saja menggangguku melalui SMS atau di media sosial lainnya.
            Akhirnya aku membalas salah satu pesannya, “Buat apa kamu bilang kayak gitu? Buat apa? Udah terlambat banget, Dan! Udah basi buat aku! Aku udah terlanjur sakit hati sama kamu. Diputusin kamu itu udah sakit banget, apalagi ditambah kabar kamu udah punya pacar nggak berapa lama setelah putus sama aku. Kamu mikir lah, gimana perasaanku! Sekarang aku udah punya pacar. Aku udah bahagia sama Adit. Jadi tolong jangan ganggu aku lagi. Aku udah maafin kamu, tapi maaf aku nggak bisa balikan sama kamu. Aku cuma mau kita temenan aja. Nggak lebih. Tolong jangan kayak gini.
            Setelah itu, Danu tak pernah menggangguku lagi. Mungkin dia sadar bahwa perbuatannya itu salah. Tapi ternyata aku salah, yang ada Danu semakin menjadi.
           

Malam itu…

This is Love II

Dan dengan polosnya aku mengangguk dan berkata, “Udah, Mas.”
            Seketika semua orang yang ada menoleh kepadaku dan dengan kompaknya bertanya, “Beneran?”
            “Sini, duduk. Cerita.. cerita..” Mas Lukman menarik tanganku agar aku duduk di sebelahnya. Kemudian sesi tanya jawab perihal putusnya aku dan Danu terjadi. Dan rapat yang awalnya membahas tentang pembagian program kerja tiap sekbid berubah menjadi acara talk show yang bintang tamunya aku. Lagi-lagi aku merasa beruntung memiliki teman-teman dan senior-senior yang peduli padaku.
            Keesokan malamnya kami berkumpul lagi dan aku duduk di sebelah seniorku yang juga masih anggota baru. Di saat sedang istirahat setelah membahas kelanjutan pembagian proker (program kerja), Mas Adit yang duduk di sebalahku itu tiba-tiba membuka pembicaraan.
            “Eh kamu kok diem aja, sih? Ngomong, napa?”
            “Hehe, iya Mas.” sebenarnya berat sekali untuk sekedar tertawa lepas, namun aku memaksakan hanya demi menghargainya.
“Kamu mau liat KHS (Kartu Hasil Study) ku, nggak?” pamernya.
“Boleh.. boleh.” jawabku. Kemudian dia mengeluarkan KHSnya. Aku tertawa setelah melihat ada nilai E di dalamnya. Dia bersikukuh kalau dosennya yang terlalu kejam kepadanya, hingga dia diberi nilai serendah itu. Keadaan canggung di antara kami sedikit mencair, lalu kami mulai membicarakan proker yang akan kami laksanakan. Kebetulan aku dan dia berada di sekbid yang sama yaitu LitBang (Penelitian dan Pengembangan).
Hari demi hari berganti, kegiatan perkuliahan ku lewati tanpa gairah. Perasaanku masih tetap kepada Danu, dan aku juga masih terus menghubunginya. Terkadang kekasihnya menyindirku dengan kata-kata yang tak seharusnya ia lontarkan kepadaku. Namun aku maklumi, karena posisiku saat ini memang salah.
Hingga suatu hari, saat aku harus pulang ke rumah karena ada acara dan di saat itu pula ada rapat FANATIK. Entah mengapa aku menghubungi Mas Adit. Aku berniat menitipkan fotoku untuk pembuatan kartu pers. Biasanya ia sering bersantai di warung depan kampus. Namun saat itu ia tak berada di sana. Dan anehnya lagi, kami yang awalnya canggung satu sama lain karena memang tidak terlalu akrab, malam ini malah saling chattingan di BBM hingga larut malam.
Perbincangan kami berlanjut hingga keesokan harinya. Kami mulai akrab satu sama lain, dan Elin mengetahuinya. Dia mulai menginterogasiku kala itu.
“Siapa, Za? Kok kayaknya seneng banget?”
“Senior FANATIK, Lin.” jawabku.
“Ooh. Senior? Yakin cuma senior? Atau senior idaman? Atau senior gebetan? Atau... atau…” Elin mengatakannya dengan nada menggoda. Dan dia melakukannya semalaman. Dasar makhluk usil!
Kebiasaanku untuk menghubungi Danu juga sudah mulai berkurang. Ditambah dengan kejadian saat aku mengirim sebuah lagu yang ku nyanyikan untuknya, dan ketika itu HPnya dipegang oleh kekasihnya. Hal itu juga yang membuatku malas menghubunginya.
            Mama, Elin, dan sahabat-sahabatku yang mengetahui itu sangat gembira. Dan sepertinya semangatku sedikit kembali. Mas Adit membawa efek yang baik, kata mereka. Sejujurnya, aku mulai merasa nyaman saat bersamanya. Namun aku masih ragu, apakah ini rasa sayang atau sekedar rasa nyaman yang sementara.
Suatu hari Mas Adit mengajakku ke tempat tongkrongannya di WDK (warung depan kampus). Ada rasa senang di hatiku kala ia mengajakku dan kami di sana hanya berdua saja. Di sana kami mengobrol banyak hal. Dari seputar organisasi, perkuliahan, hingga kehidupan kami. Aku merasa semakin nyaman bersamanya. Malam semakin larut, ia mengajakku untuk membeli makan. Namun aku menolak untuk makan bersamanya karena perutku masih kenyang. Tak sengaja, di tengah jalan aku melihat Danu dan kekasihnya sedang berduaan. Ajaib! Karena aku tak lagi merasakan cemburu. Apakah aku benar-benar telah melupakannya? Apakah aku telah jatuh cinta pada Mas Adit?
            Setelah selesai membeli makan malam, aku berpamitan pada Mas Adit. Dan dia berniat untuk mengantarku pulang. Aku merasa senang sekali malam ini. Senang bisa bersama Mas Adit. Kencan? I don’t know too.
            “Makasih Mas udah nganterin aku. Maaf ngerepotin.” ucapku.
            “Yee.. Aku kali yang harusnya bilang makasih dan minta maaf. Makasih banyak udah mau nemenin aku, dan maaf udah minta kamu nemenin aku malem-malem gini. Di warung pula. Nggak elit banget. He he.” dia berkata sambari nyengir kuda.
            “Nggak papa kok, Mas. Aku seneng nemenin kamu.” aku tersenyum malu kala mengatakannya.
            “Ih, baik banget sih Neng Zahra. Ya udah deh, aku balik dulu ya.” dia mengusap kepalaku lembut kemudian pergi dengan motornya. Jantungku berdegup kencang, aura senang dari wajahku tak dapat ku sembunyikan lagi.
            “Ehem…” tiba-tiba ada suara yang sangat ku kenal.
            “Ehh, emm.. Elin. Hai! Emm.. Dari tadi?” sapaku gelagapan.
            “Dari kemarin malah, Za! Oh ya, aku nggak lihat apa-apa kok barusan.” ledeknya.
            “Maksudnya?” aku bertanya dengan polos.
            “Maksudnya, aku nggak lihat kok kalo kepalamu habis dielus sama seniormu itu. Sungguh, aku nggak lihat. Ha ha ha.”
            “Eliiiiiiiiiinnnnn!!”
            Hari-hari berlanjut. Hubunganku dan Mas Adit semakin intim. Aku menceritakan tentangnya kepada Mama. Sama halnya seperti Elin, Mama sangat senang melihatku kembali ceria seperti dulu. Hingga pada suatu hari, sesuatu yang sangat tak ku duga terjadi.
            Chat BBM . . .
            . . .
            “Iya aku paham. Bercanda doang tadi, Zahra. Ih kamu lucu kalo baper yah? Ha ha ha. Iya aku juga mau kok jadi pacar, sahabat, dan siapa pun, yang penting aku bisa deket sama kamu. Tapi kayaknya nggak gentle deh kalo aku nyatain perasaanku lewat BBM. Besok deh kalo kamu balik ke kos aku bakal ngomong langsung di depan kamu. Makanya, cepet balik dong.
            15 Maret 2015, pukul 02.00, Adit mengutarakan perasaannya padaku, setelah sukses membuatku bingung. Ternyata cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Aku khawatir dia hanya menganggapku sebagai adik saja. Namun kekhawatiranku terpatahkan oleh ucapannya saat itu. Dan semenjak saat itu juga dia melarangku untuk memanggilnya dengan embel-embel “Mas”.

            Keesokan harinya saat aku kembali ke kos, Adit mendatangiku dan ia benar-benar mengutarakan perasaannya di depanku. Dia adalah orang pertama yang dengan gentle melakukan hal seperti.

This is Love

Ku kira cinta itu adalah perasaan yang menghangatkan bagi yang merasakan. Perasaan yang menyenangkan dan menggairahkan. Namun apa yang telah ku alami sekarang telah mengubah pandanganku tentang apa itu cinta. Perasaan bahagia itu hanya sesaat bagiku. Yang tersisa hanyalah rasa sakit atas sebuah pengkhianatan dari seseorang yang dulu ku sebut sebagai kekasih.
            “Kita temenan aja ya?”
            “Kenapa? Kenapa tiba-tiba minta putus? Aku punya salah apa? Kenapa mendadak gini?”
            Aku meneteskan air mataku kala membaca pesan darinya yang dikirim beberapa hari yang lalu. Sungguh sebuah kejutan yang tak pernah ku bayangkan, bahkan tak pernah ku harapkan bakal terjadi. Imajinasi indah tentang menghabiskan waktu bersamanya kandas setelah membaca 4 kata itu.
            “Aku udah nggak nyaman sama kamu.”
            Itu alasan yang ia katakan padaku. Sungguh tak masuk akal. Setelah 4 bulan menjalani hubungan yang menurutku tak pernah ada masalah yang sangat fatal, dia malah berkata seperti itu. Mungkin selama ini aku telah melakukan sesuatu yang mengusik kenyamanannya, tapi apa itu? Aku pun tak tahu karena dia tak pernah menunjukkan atau pun mengeluh akan sikapku yang membuatnya tak nyaman.
            Hari-hari ku lalui dengan kesedihan yang mendalam. Aku mulai tak selera makan, namun terkadang masih ku paksakan agar Mama tak mengetahui keadaanku. Namun pada akhirnya Mama mengetahuinya.
            “Akhir-akhir ini Mama lihat selera makanmu menurun. Ada apa, Nak?” tanya Mama.
            “Nggak papa kok, Ma. Lagi pengen diet, biar tetep kelihatan sexy. Ha ha.” aku mencoba untuk mengalihkan kecurigaan Mama.
            “Kamu itu nggak pinter bohong, Sayang. Cerita aja sama Mama. Ada hubungannya dengan Danu?” pertanyaan Mama benar 100%. Aku mengangguk dan menceritakan segalanya kepada Mama.
            Ohya, aku belum berkenalan. Namaku Azzahra Ariesti Liana. Semua orang memanggilku Zahra. Saat ini aku adalah mahasiswi Sastra Inggris semester 2 di sebuah perguruan tinggi negeri. Terlahir sebagai anak tunggal di sebuah keluarga yang kondisi perekonomiannya di atas rata-rata tak membuatku menjadi anak manja. Orang tuaku mendidikku agar menjad gadis yang mandiri.
            “Danu, aku kangen kamu.” batinku dalam hati.
            Malam ini aku tak sengaja membuka dinding facebooknya. Dan ada seorang gadis bernama Vira menandainya dalam sebuah status. Status yang sangat tak ingin ku baca. “Aku juga sayang kamu, Danu.”
            Ya, malam ini aku merasa ada tombak yang menusuk hatiku. Baru 2 minggu Danu dan aku putus, sekarang dia telah memiliki kekasih baru. Sungguh aku tak menyangka dia seperti itu. Tangisku meledak seketika. Tak menyangka akan merasakan patah hati yang teramat sangat seperti ini.
            Namun entah mengapa aku masih saja menghubunginya melalui BBM atau SMS. Padahal aku mengetahui dia telah bersama orang lain. Aku akui aku memang salah, tetapi aku tetap saja melakukannya. Jelas cemburu akan hinggap di hati kala Danu menulis status tentang kekasihnya itu. Aku berterus terang padanya bahwa aku cemburu melihatnya melakukan itu. Bodoh memang, tapi itu lah yang ku lakukan saat ini. Elin, sahabat karibku mencegahku untuk melakukan hal bodoh itu.
            “Cowok kayak gitu jangan terus-terusan digituin. Lama-kelamaan dia ngelunjak dan manfaatin kamu nantinya. Udah sih, kan masih ada Mamamu dan aku di sini. Ngapain kamu masih berhubungan sama cowo bejat kayak dia?” ceramahnya.
            “Tapi aku masih sayang sama dia, Lin. Menurutku Vira itu nggak baik buat Danu. Dari status-status di facebooknya, dia sering ngomong kasar. Cewek kayak gitu nggak pantes buat Danu. Aku yang lebih pantes buat dia, Lin.” aku mencoba tetap membela Danu.
            “Bodoh! Kamu bodoh! Lupain dia, Za! Jijik aku lihat kondisimu sekarang! Badan kurus, nggak punya semangat hidup, dan masih ngarepin cowok tolol kayak si Danu! Malah kamu yang nggak pantes buat Danu. Kamu itu cantik, pinter, baik pula! Nggak pantes lah sama cowok kayak dia. Aku yakin pasti ada yang lebih baik dari Danu!” Elin geram mendengar penjelasanku.
            Aku hanya tersenyum melihat Elin memarahiku seperti ini. Setidaknya  masih ada orang yang benar-benar peduli padaku. Aku bersyukur memiliki sorang sahabat sepertinya. Meskipun terkadang dia seperti anak kecil yang harus selalu diingatkan, tapi aku menyayanginya seperti saudariku sendiri.
           
Sebulan kemudian. . .
Liburan semester telah berakhir. Aku harus kembali ke kota perantauan dan berpisah dengan Mama. Perasaanku masih tak menentu, masih mencintai Danu. Dan entah mengapa Danu masih saja meresponku. Hal itu yang membuatku enggan untuk berhenti menghubunginya. Aku yakin jika dia masih mencintaiku, meskipun dia berkata bahwa telah membuang semua rasa tentangku. Aku berpikir dia berbohong.
            Kini kesibukan di kampus mulai efektif. Setidaknya hal itu sedikit menyita waktuku untuk bergalau ria. Teman-temanku menanyakan apa yang terjadi padaku hingga badanku menjadi kurus dan aku tak lagi ceria seperti dulu. Sakit adalah alasan terampuhku untuk menjawab pertanyaan teman-temanku di kampus.
            Suatu hari ada seorang temanku yang bernama Gio mendekat dan bertanya padaku.
            “Aku semalem liat Danu jalan sama cewek. Kalian putus ya?” tanyanya penasaran.
            “Iya.” aku menjawab singkat
            “Pantes. Kok bukan jalan sama kamu. Tapi ceweknya jelek, lebih cantik kamu kok.” gombalnya seketika.
            “Ah, sudahlah. Nggak usah bahas Danu.” aku memutuskan untuk tidak melanjutkan pembicaraan tentang Danu dan kekasihnya. Dan berita putusnya aku dan Danu menyebar ke semua teman-temanku. Mereka akhirnya mengetahui penyebab utama perubahan yang terjadi padaku.
            “Salam Pers Mahasiswa! Dimohon kedatangannya kepada anggota LPM FANATIK …” begitulah pesan yang ku terima di BBM. Aku adalah anggota pers di kampusku. Dan malam ini adalah waktu berkumpul kami yang pertama setelah terpilihnya Mas Rian sebagai ketua umum yang baru.
            Setibanya di sana, beberapa orang telah berkumpul di taman kampus. Mas Lukman menyapaku dengan pertanyaan yang sangat menohok, “Gimana, udah jomblo belum?”