Rabu, 19 Agustus 2015

Kamu My Lovely 8

Saat cinta telah memilih kepada siapa ia akan berlabuh. Tak satupun insan yang dapat menolaknya. Cinta yang hingga saat ini masih tak ada definisi yang disepakati bersama, memang bisa membuat siapa pun sanggup bertingkah konyol demi seseorang yang dipujanya.
Cinta juga bisa membuat hari-hari kita terasa lebih berwarna. Yang awalnya hanya berwarna hitam putih, kini bisa saja berwarna serupa pelangi di angkasa yang melengkung cantik di angkasa.
Cinta yang baik adalah cinta yang bisa membuat kita semakin dekat dengan Yang Maha Kuasa. Pun membuat kita termotivasi untuk menjadi insan yang lebih baik dari sebelumnya.
Ah cinta, ada begitu banyak keindahan dalam dirimu. Tapi tak selamanya cinta menampakkan keindahannya, kadangkala ia akan menampakkan sisi buruknya. Dengan maksud untuk membuat kita semakin dewasa.
“Tumben minggu-minggu di rumah, Gin? Nggak jogging sama Arya?” tanya Mama menghampiri Gina yang sedang bersantai di taman belakang.
“Arya sibuk minggu ini, Ma. Ada tugas bikin video documenter. Jadi ya Gina nggak mau ganggu kesibukan dia.” sahutnya.
“Anak Mama sudah dewasa sekarang. Beda sama yang dulu. Kalau dulu kamu selalu minta ditemenin sama mantan pacarmu.” Mama mengelus lembut puncak kepala anak gadisnya.
“Iya, Ma. Berkat Arya. Dipikir-pikir, yang kayak gitu nggak baik juga, Ma. Aku jadi malu kalo inget gimana posesifnya aku.” Gina menggelayut manja di lengan Mamanya.
“Assalamualaikum.” saat  itu ada seseorang yang mengucap salam dari arah depan.
Keduanya langsung menuju ke arah suara berasal. Dari kejauhan terlihat sosok yang mereka kenal.
“Abang? Bang Gino?!” Gina masih belum percaya melihat sosok yang berdiri di depan pintu.
“Sambutannya cuma gitu doang? Nggak ada acara pelukan atau apa gitu? Terus Gino nggak disuruh masuk gitu? Yah nggak asik! Balik lagi aja deh ke Amrik!” lelaki itu protes karena tak ada sambutan meriah untuknya.
“Abaaaaaaaaaang! Gina kangen banget sama Bang Gino!” Gina berlari menuju saudaranya yang sudah lama tak dijumpainya.
“Kok pulangnya dadakan gini, Gin? Tau gitu kan bisa Mama jemput.” Mama mengajak Gino masuk menuju ruang keluarga.
“Biar surprise, Ma. Ma, Gino laper, nih? Mama masak apa hari ini?”
“Kebetulan Mama masak makanan kesukaan kalian berdua.”
“Tempe penyeeeet.” sahut Gina dan Gino berbarengan. Lalu keduanya berlomba menuju meja makan.

Pagi yang indah pikir Gina.

Selasa, 18 Agustus 2015

Kamu My Lovely 7

Esoknya…
“Assalamualaikum. Selamat pagi, pangeranku yang ganteng!” sapa Gina pagi itu.
“Waalaikumsalam. Lebay!”
“Bodo! Ohya, nih aku bawain nasi goreng. Bikinanku sendiri, lho!” Gina menyodorkan kotak makan mungil berwarna biru.
“Kok tahu kalo aku belum makan?”
“Kata Ibu kamu nggak pernah mau sarapan. Jadi aku bikinin nasi goreng deh. Dimakan yah? Ohya, aku nggak bisa lama-lama, mau balik ke kelas. Mau prepare, ada quiz soalnya.”
“Yaah, kok bentar sih ketemunya? Eh, sini deh! Aku mau ngomong.” Arya mendekatkan bibirnya ke telinga Gina, “Makasih Sayang buat nasi gorengnya. Sukses quiznya!”
“Sama-sama. Aamiin.” terlihat kekasihnya tersipu malu dan pipinya mulai bersemu merah muda.
“Ya Allah… Cakepnya gadisku ini. Pagi-pagi udah bisa bikin bahagia aja.” batinnya dalam hati sembari melihat gadisnya yang mulai menjauh menuju kelasnya.
Setelah yakin gadisnya telah berada di kelas, Arya pun menuju kelasnya dengan wajah sumringah. Kotak makan mungil berwarna biru digenggamnya erat. Sesampainya di kursinya, Arya tak langsung memakan bekalnya. Ia lebih memilih menimangnya.
“Mungil banget wadahnya. Persis yang punya.” gumamnya sambil senyum-senyum.
Saat Arya mulai memakan nasi gorengnya, tiba-tiba Herman menepuk punggungnya keras. Arya terbatuk-batuk karena tersedak. Herman malah tertawa terpingkal-pingkal.
“Peak lu! Kalo gue mati karena keselek gimana?” tukasnya.
“Lebay! Nanti siang ikut gue ke sekret. Kita siapin peralatan buat pembekalan materi nanti malem.”
Arya tak menjawab, hanya mengangguk dan memakan nasi gorengnya dengan lahap.
“Woles, Boy! Kayak nggak pernah makan nasi goreng aja!”
Arya tak menggubrisnya. Ia lebih fokus pada nasi gorengnya yang hampir habis.
“Dibuatin Gina, Boy! Enak banget tau!”
Saat Arya memamerkan kotak nasinya kepada Herman, Putri yang baru datang dan tak sengaja mendengarnya langsung murka.
BRAK!!
“Woles kali, Put! Nggak usah banting-bantingan. Lebay!” hardik Herman yang kaget.
“Kamu kenapa, Put? Pagi-pagi kok udah emosi?” tanya Arya polos.
Putri tak menjawab. Ia hanya menatap Arya dengan pandangan mata nanar. Saat hendak bertanya lagi, Pak Timbul sudah masuk ke kelas. Dan ia mengurungkan niatnya.
“Dia jealous, peak!” bisik Herman. Arya hanya menghela napas dibuatnya.

“Boy, gue harus gimana sama Putri? Dia nggak mau ngomong sama gue.” tanya Arya saat menuju sekret.
“Udah biarin aja. Ntar juga capek sendiri.” sahut Herman santai.
“Tapi gue nggak enak sendiri sama dia, Boy! Kan dia udah baik banget sama gue selama ini.”
“Yaiyalah dia baik sama elu! Orang dia demennya sama elu! Udah ah, woles!”
Arya hanya manggut-manggut mengiyakan ucapan Herman. Ada benarnya juga memang. Sepertinya ia harus bersikap biasa saja.

“Naah, kelar! Gue minta tolong bbmin Mas Untung dong? Khawatir dia lupa buat acara nanti malem.” pinta Herman.
“Yang lain udah pada tahu belum?”
‘Udah, kok! Anggota barunya juga udah gue kabarin. Eh, ke kantin, yuk? Gue laper! Ntar gue traktir deh. mumpung lagi banyak duit nih!” pamernya sambil mengeluarkan dompet kulitnya yang terlihat tebal.
“Belagu lu! Tapi gue udah kenyang, tadi kan udah sarapan.”
“Yaudah ikut aja. Pesen minum apa gitu kek! Nggak aus lu?”

“Yoee ma men. Berangkaaat.”

Kamu My Lovely 6

Siangnya setelah jadwal kuliah selesai, Arya langsung bergegas meninggalkan kelas.
“Arya kemana tuh, Put? Kok sekarang jarang sama kamu? Jangan-jangan dia udah punya gebetan? Atau bahkan pacar?” Rama curiga.
“Tau, ah! Jangan bikin aku panas, deh! Udah hawanya panas begini! Aku balik duluan aja!” Putri merespon pertanyaan Rama dengan ketus.
Saat keluar dari kelas, Putri melihat Arya dengan seorang gadis. Mereka tampak tertawa bahagia. Api cemburu membara di dalam hatinya.
“Kok masih di sini, Put? Katanya mau balik?” Putri tak menjawab. Matanya nanar. Rama mengikuti kemana arah pandangan Putri.
“Eh itu Arya sama si Gina, bukan?” Putri menoleh. “Itu tuh, maba yang waktu itu ikutan duduk sama kita pas lagi di kantin.”
Putri tak merespon ucapan Rama. Dia malah berlari meninggalkan Rama sendirian.
“Dasar cewek!” umpatnya.

“Gin, aku mau ngenalin kamu sama Ibuku. Ikut yuk ke rumah.” ajak Arya.
“Haah? Tap… tap… tapi, aku belum siap.”
“Yaelah, kayak mau ketemuan sama Pak Jokowi aja pake persiapan segala. Woles kali. Ibuku nggak galak. Udah ikut aja. Kalo nggak mau ikut, aku turunin depan kuburan nanti. Biar diculik sama penghuni di sana.”
Mulut Gina memang tak mengeluarkan suara. Tetapi tangannya yang berbicara dengan cara menjambak rambut Arya yang mulai gondrong.
“Sakit sakit sakiiitt!!” Arya mengerang kesakitan sambil mengelus rambutnya yang serasa ingin lepas dari kepalanya.
“Bodo. Yaudah jek, capcus!”
“Dih, dipikir aku ojek kali ya? Ohya, Ibuku namanya Kartina.”

“Assalamualaikum. Ibu?” ucapnya saat sampai di rumah.
Rumah minimalis namun teduh karena di halaman rumah Arya banyak terdapat tanaman-tanaman yang rindang. Ada juga kolam ikan yang sesekali terdengar gemericik suara ikan berenang. Membuat siapa pun yang bertandang akan betah berlama-lama di sana.
Seraya Gina mengagumi kesejukan di rumah Arya, ternyata Ibu Arya sudah berada di depannya sambil senyum-senyum melihat tingkahnya.
“Udah, kagumnya nanti aja. Kenalan dulu sama calon mertua.” Arya membuyarkan pikiran Gina.
“Ah! Eh… Hehe, anu… Duh. Mmh… Saya Gina, Bu. Juniornya Kak Arya.” Gina gelagapan sambil cengengesan.
“Oh, juniornya Arya? Ibu kira pacarnya Arya.” Ibu senyum-senyum. “Terus pacarmu yang mana?
“Apaan junior? Manggil Kak Arya segala! Ya ini calon menantunya Ibu.” Arya semakin gemas dibuatnya.
“Oalaah. Kok malu-malu gitu sih, Nak Gina? Jadi bener, kamu pacarnya Arya? Calon menantu Ibu?”
Gina hanya mengangguk dan menunduk karena malu, pipinya bersemu merah muda. Membuat poin kecantikannya bertambah.
“Masuk yuk, Nak. Anggap rumah sendiri, yah.” ajak Ibu.
“Arya?” Gina menarik lengan baju Arya.
“Apa?”
“Aku malu. Tadi aja aku gelagapan. Ntar kalo Ibumu nggak suka sama aku, gimana?”
“Lebaynya kumat! Udah ah, nggak usah gitu. Masuk yuk, Sayang.” Arya mengelus kepala gadisnya lembut.
Setelah itu Gina masuk dan mulai berbincang-bincang dengan Ibu Kartina. Arya mengintip dari balik pintu kamarnya yang tak jauh dari ruang tamu. Terlihat Gina sudah tidak malu-malu kala berbincang dengan Ibunya.

“Ibu, Gina pamit, yah? Nggak kerasa udah mau maghrib aja.” pamitnya.
“Iya, Sayang. Sering-sering main ke sini, bantuin Ibu bikin kue.”
“Siap, Bu!” gadis berlesung pipi itu berpose hormat layaknya prajurit yang diberi titah oleh komandannya.
“Lebay!” Arya menjitak kepalanya.
“Ibuuuu... Arya nakal!” rengeknya.
“Arya! Nggak boleh nakal sama anak Ibu!” Ibunya mengelus rambut Gina.

“Dih. Yang anaknya Ibu siapa coba? Oh gitu sekarang, yah? Pada sekongkol mau nyingkirin aku.” ucapannya disambut dengan tawa oleh ketiganya.