Siangnya setelah jadwal kuliah
selesai, Arya langsung bergegas meninggalkan kelas.
“Arya kemana tuh, Put? Kok sekarang
jarang sama kamu? Jangan-jangan dia udah punya gebetan? Atau bahkan pacar?”
Rama curiga.
“Tau, ah! Jangan bikin aku panas,
deh! Udah hawanya panas begini! Aku balik duluan aja!” Putri merespon
pertanyaan Rama dengan ketus.
Saat keluar dari kelas, Putri
melihat Arya dengan seorang gadis. Mereka tampak tertawa bahagia. Api cemburu
membara di dalam hatinya.
“Kok masih di sini, Put? Katanya
mau balik?” Putri tak menjawab. Matanya nanar. Rama mengikuti kemana arah
pandangan Putri.
“Eh itu Arya sama si Gina, bukan?”
Putri menoleh. “Itu tuh, maba yang waktu itu ikutan duduk sama kita pas lagi di
kantin.”
Putri tak merespon ucapan Rama. Dia
malah berlari meninggalkan Rama sendirian.
“Dasar cewek!” umpatnya.
“Gin, aku mau ngenalin kamu sama
Ibuku. Ikut yuk ke rumah.” ajak Arya.
“Haah? Tap… tap… tapi, aku belum
siap.”
“Yaelah, kayak mau ketemuan sama
Pak Jokowi aja pake persiapan segala. Woles kali. Ibuku nggak galak. Udah ikut
aja. Kalo nggak mau ikut, aku turunin depan kuburan nanti. Biar diculik sama
penghuni di sana.”
Mulut Gina memang tak mengeluarkan
suara. Tetapi tangannya yang berbicara dengan cara menjambak rambut Arya yang
mulai gondrong.
“Sakit sakit sakiiitt!!” Arya
mengerang kesakitan sambil mengelus rambutnya yang serasa ingin lepas dari
kepalanya.
“Bodo. Yaudah jek, capcus!”
“Dih, dipikir aku ojek kali ya? Ohya,
Ibuku namanya Kartina.”
“Assalamualaikum. Ibu?” ucapnya
saat sampai di rumah.
Rumah minimalis namun teduh karena
di halaman rumah Arya banyak terdapat tanaman-tanaman yang rindang. Ada juga
kolam ikan yang sesekali terdengar gemericik suara ikan berenang. Membuat siapa
pun yang bertandang akan betah berlama-lama di sana.
Seraya Gina mengagumi kesejukan di
rumah Arya, ternyata Ibu Arya sudah berada di depannya sambil senyum-senyum
melihat tingkahnya.
“Udah, kagumnya nanti aja. Kenalan
dulu sama calon mertua.” Arya membuyarkan pikiran Gina.
“Ah! Eh… Hehe, anu… Duh. Mmh… Saya
Gina, Bu. Juniornya Kak Arya.” Gina gelagapan sambil cengengesan.
“Oh, juniornya Arya? Ibu kira
pacarnya Arya.” Ibu senyum-senyum. “Terus pacarmu yang mana?
“Apaan junior? Manggil Kak Arya
segala! Ya ini calon menantunya Ibu.” Arya semakin gemas dibuatnya.
“Oalaah. Kok malu-malu gitu sih,
Nak Gina? Jadi bener, kamu pacarnya Arya? Calon menantu Ibu?”
Gina hanya mengangguk dan menunduk
karena malu, pipinya bersemu merah muda. Membuat poin kecantikannya bertambah.
“Masuk yuk, Nak. Anggap rumah
sendiri, yah.” ajak Ibu.
“Arya?” Gina menarik lengan baju
Arya.
“Apa?”
“Aku malu. Tadi aja aku gelagapan.
Ntar kalo Ibumu nggak suka sama aku, gimana?”
“Lebaynya kumat! Udah ah, nggak
usah gitu. Masuk yuk, Sayang.” Arya mengelus kepala gadisnya lembut.
Setelah itu Gina masuk dan mulai berbincang-bincang
dengan Ibu Kartina. Arya mengintip dari balik pintu kamarnya yang tak jauh dari
ruang tamu. Terlihat Gina sudah tidak malu-malu kala berbincang dengan Ibunya.
“Ibu, Gina pamit, yah? Nggak kerasa
udah mau maghrib aja.” pamitnya.
“Iya, Sayang. Sering-sering main ke
sini, bantuin Ibu bikin kue.”
“Siap, Bu!” gadis berlesung pipi
itu berpose hormat layaknya prajurit yang diberi titah oleh komandannya.
“Lebay!” Arya menjitak kepalanya.
“Ibuuuu... Arya nakal!” rengeknya.
“Arya! Nggak boleh nakal sama anak
Ibu!” Ibunya mengelus rambut Gina.
“Dih. Yang anaknya Ibu siapa coba? Oh
gitu sekarang, yah? Pada sekongkol mau nyingkirin aku.” ucapannya disambut
dengan tawa oleh ketiganya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar