Jumat, 19 Juni 2015

Don't Go! 3

Di kampus…

Perasaan apa ini? Kenapa aku senang sekali saat  Cloud mengantarku pagi ini? Apa aku benar-benar telah jatuh cinta padanya? Pikiran Tifa dipenuhi dengan kebingungan akan perasaannya tentang Cloud.

Selama pelajaran Tifa tidak bisa berkonsentrasi dengan baik. Ada saja bayangan yang muncul kala ia sedang berusaha fokus pada pelajaran. Akhirnya ia memutuskan untuk beristirahat di ruang kesehatan. Dan ia pun tertidur.

Waktu untuk pulang telah tiba, petugas kesehatan membangunkan Tifa yang sedang tertidur pulas. Kemudian ia kembali ke kelas untuk mengambil barang-barangnya yang masih berserakan di mejanya.

Tifa berjalan menuju gerbang seorang diri, tiba-tiba ada seseorang yang dengan jahil menutup matanya.

“Sendirian aja? Awas digebet hantu penunggu gedung ini, lho!” goda orang itu.

“Cloud! Kamu apa-apaan, sih? Bikin aku kaget aja.” Tifa memajukan bibirnya, membuat Cloud gemas melihatnya.

“Kamu imut banget sih, Tiffani!” tanpa sadar Cloud mencubit pipi chubby Tifa dengan lembut. Membuat keduanya langsung salah tingkah setelah sadar apa yang terjadi. Mereka pulang saling membisu, hanyut dalam perasaan masing-masing.

“Aku sayang kamu.” ucap keduanya dalam hati.

Saat Dewa Asmara telah menancapkan panahnya, manusia, bahkan peri pun tak dapat menahan magis yang ia berikan.

Malamnya Cloud membulatkan tekad untuk menjalankan rencananya. Ia mengajak Tifa dan kedua adiknya untuk bertamasya di taman yang tadi siang didatanginya.  Cloud juga meminta izin kepada manajer tempat Tifa bekerja, karena malam itu Tifa tidak bisa bekerja.

Sepertinya keadaan mendukung niat tulus Cloud. Rembulan bersinar terang menyinari taman, menambah keromantisan suasana saat itu. Tifa curiga akan gelagat Cloud yang sedari tadi tak tenang. Ketika ditanyakan, Cloud hanya tertawa dan berkata bahwa ia sangat senang bisa bertamasya dengan mereka.

Sesampainya di taman yang dituju, Cloud mengajak Tifa ke suatu tempat.

“Maaf sebelumnya. Mungkin ini terlalu cepat dan mendadak buatmu. Tapi aku nggak bisa…”

“Nggak bisa apa, Cloud?”

Cloud diam sejenak, menatap sosok cantik di depannya.

“Aku nggak mau kehilangan kamu. Aku sayang kamu, Tiffani. Kamu mau kan jadi pendamping hidupku?”

Tifa tak menjawab. Yang keluar bukanlah kata-kata, melainkan air mata. Cloud sontak kaget melihat responnya. Dia takut telah menyakiti perasaan gadis pujaannya itu.

“Ka..m.. Kamu kenapa nangis? Maaf kalau aku bikin kamu sedih. Maaf. Aku cuma pengen kamu tau tentang perasaanku. Maaf.”

Tifa menggeleng seraya tersenyum, “Aku nggak sedih. Aku terharu dengar kata-katamu. Thanks! Aku juga sayang kamu, dan aku juga mau jadi pendamping hidupmu.”

Kemudian sebuah kecupan manis yang singkat mendarat di bibir Tifa. Keduanya lalu tersenyum dan kemudian kembali ke tempat di mana Danzel dan Marlene berada. Karena udara semakin dingin, mereka memutuskan untuk pulang. Tifa dan Cloud berjalan sambil berpegangan tangan. Malam yang sangat indah, pikir keduanya.


Beberapa bulan kemudian, Cloud telah pindah ke sebuah rumah kontrakan yang letaknya sangat dekat dengan rumah Tifa. Mereka merasa tak nyaman dengan para tetangga jika harus tinggal bersama.

Hubungan keduanya semakin langgeng, Cloud juga bekerja di café yang sama dengan Tifa. Namun unpredictable thing happens! Waktu itu Cloud sedang membuang sampah di belakang café seorang diri. Lalu ada seorang gadis yang tiba-tiba memeluknya dari belakang.

“Tifaa… Di tempat kerja, tau. Kamu nggak malu diledekin orang-orang?”

“Cloud, aku merindukanmu.”

Deg! Cloud tertegun mendengar suara itu. Sosok itu bukan Tifa, melainkan seseorang yang sangat dikenalnya dahulu.
Saat membalikkan badan, ternyata perkiraan Cloud benar, “ Zee! Kamu… Kamu kok…”

Cup… Sebuah ciuman mendarat di bibir Cloud. Tak jauh dari tempat Cloud berada, Tifa berdiri mematung melihat pemandangan yang membuat hatinya mencelos. Dia merasa dikhianati, air matanya tak dapat lagi terbendung. Kemudian sebuah kalimat lirih terucap dari bibir mungilnya.


“Kamu jahat, Cloud!” kemudian ia berlari meninggalkan dua makhluk bukan manusia itu. Cloud tersadar bahwa Tifa melihatnya sedang berciuman dengan Zee. Tanpa babibu Cloud langsung mengejar Tifa yang kini telah hilang ditelan pekatnya malam.

Don't Go! 2

          “Kan aku udah bilang kalau aku ini peri. Nggak percaya sih!” sungut Cloud.

      “Kalau memang kamu ini peri, kenapa kamu nggak bisa nyembuhin luka-lukamu sendiri?” tanya Tifa masih tak percaya.

      “Karena kami memang nggak bisa menggunakan kekuatan kami untuk diri kami sendiri. Makanya aku nggak bisa nyembuhin luka-lukaku.” tuturnya.

       Akhirnya setelah mendengar penjelasan lebih tentang dunia peri, barulah Tifa percaya bahwa mereka itu nyata. Kemudian kedua adik Tifa turun menghampiri mereka.

          “Kakak, aku lapar nih. Lho, itu siapa?” tanya Marlene penasaran.

       “Dia teman Kakak. Namanya Cloud. Kamu lapar, ya? Tunggu sebentar yah, Kakak panasin makanan yang di dapur dulu. Kalian nonton TV aja.” ujarnya seraya meninggalkan mereka bertiga di sofa yang berada di ruang keluarga.

       “Kakak namanya kok lucu? Cloud kan artinya awan. Hi hi.” celetuk Marlene saat menghidupkan TV. Cloud tersenyum mendengarnya.

        “Kakak beneran temannya Kak Tifa? Aku nggak pernah lagi ketemu sama teman lelakinya Kak Tifa semenjak dia putus sama orang jahat itu.” Danzel bertanya untuk memastikan.

         “Sebenernya kami baru bertemu. Kakak kalian menolongku. Oh ya, orang tua kalian kemana?” tanyanya.

         “Mama sama Papa sudah meninggal 2 tahun yang lalu, Kak. Mereka meninggal karena kecelakaan. Jadi kami yang kami punya cuma Kak Tifa aja. Kata Kakak kita nggak boleh sedih meskipun orang tua kita sudah meninggal, karena mereka masih ngawasin kita dari Surga.” Danzel bercerita dengan nada mantab. Cloud tertegun mendengar seorang anak yang masih berumur belasan tahun begitu tegarnya saat kehilangan orang tua.

         “Makanan siap. Ayo ke ruang makan semua.” Tifa muncul dari dapur. Kedua adiknya yang sepertinya sedang kelaparan, berlari menuju ruang makan.

        “Sini aku bantu kamu berdiri. Mmh.. makanan peri itu kayak apa ya? Aku nggak tau.” ucapnya polos.

       “Sama kayak manusia kok. Jadi kamu tenang aja. By the way, thanks a lot for everything. You’re so kind to me.” Tifa merasakan sesuatu yang aneh pada dirinya. Jantungnya berdegup kencang. Sudah lama dia tak merasakan perasaan seperti ini.

          “Kamu kenapa kok kayak orang bingung gitu?” tanya Cloud mengagetkan Tifa.

          “Hah? E… em.. Kita makan yuk! Biar kamu cepet sembuh.” seketika Tifa gelagapan. Setelah makan malam, Tifa mengizinkan Cloud untuk tidur di kamar yang kosong.


          3 bulan kemudian . . .

          Kebersamaan memunculkan rasa nyaman di hati keduanya. Benih-benih cinta mulai tumbuh. Namun tak satupun berani mengungkapkannya.

        “Dan, Marlene, Kakak berangkat ya. Kalian cepet berangkat juga ya, biar nggak telat.” seru Tifa di suatu pagi.

       “Tumben pagi banget berangkatnya?” Cloud muncul tiba-tiba saat Tifa hendak memakai sepatu.

          “Oh, iya, masih ada urusan di kampus nih.” jawabnya.

          “Boleh aku temenin? Aku pengen tahu daerah di sini.” pintanya.

          “Kalau kamu pulangnya nyasar, gimana?” Tifa lupa kalau Cloud adalah seorang peri.

       “Kamu lupa ya kalau aku ini peeee…” Tifa buru-buru membungkam mulut Cloud. Tubuh keduanya berdekatan, membuat jantung keduanya berdetak lebih cepat. Dan seketika suasana jadi canggung.

          Lalu keduanya berangkat bersama-sama. Sepanjang jalan banyak tetangganya yang menggoda Tifa karena mereka hampir tidak pernah melihatnya berjalan bersama lelaki. Cloud yang berada di sebelahnya hanya tersenyum melihat wajah gadis itu berubah menjadi merah seperti kepiting rebus. “Aku sayang kamu, Tifa.” ucapnya dalam hati.

          Setelah mengantarkan Tifa, Cloud berjalan-jalan untuk menyegarkan pikirannya. Tak jauh dari tempatnya berdiri, terlihat ada sebuah taman yang cukup rindang. Cloud duduk di salah satu kursi yang berada di sana. Kemudian ada seorang nenek yang menghampirinya.

          “Kamu sedang memikirkan apa anak muda?” tanyanya.

       “Masalah hati, Nek. Aku bingung. Aku menyukai seseorang yang baru ku kenal, tetapi aku sudah nyaman dengannya. Dia baik sekali padaku, padahal kami baru saja berkenalan, dan dia juga seorang pekerja keras.” Cloud menghentikan ucapannya.

        “Lalu?” Nenek itu sedikit memiringkan kepalanya agar dapat melihat ekspresi Cloud yang sedang menunduk.

        “Aku bingung dengan perasaanku. Apakah perasaan nyaman ini hanya sekedar tanda terima kasih atau aku jatuh cinta padanya, aku tak tahu, Nek.” ungkapnya.

        “Mudah saja. Kalau kau jatuh cinta padanya, kau akan merasa bahagia hanya dengan melihatnya tersenyum padamu. Dan juga kau juga tak akan bisa berlama-lama jauh darinya.” Nenek itu tersenyum pada Cloud.

    Cloud diam sesaat dan memejamkan matanya. Memikirkan apa yang telah dirasakannya selama ini. Dan akhirnya dia yakin bahwa telah jatuh cinta pada gadis asing yang baru dikenalnya beberapa bulan itu. Malaikat penyelamatku, Tifani.


      “Oke! Terima kasih ya, Nee.. nek.” Cloud kaget karena nenek yang tadi di sebelahnya tiba-tiba menghilang dalam sekejap. Namun ia tak mau ambil pusing. Ia merencanakan untuk menyatakan perasaannya pada Tifa malam ini di tempatnya berada sekarang.

Don't Go! 1

       Peri itu hanya khayalan. Peri itu hanya ada di dunia dongeng. Peri itu tidak nyata.

          Setidaknya itu yang dipercaya oleh Tifa sebelum ia bertemu dengan seorang pemuda yang terluka di depan café tempatnya bekerja. Tifa tak tahu darimana ia datang dengan kondisi tubuh penuh luka seperti itu.

          “Kamu kenapa bisa luka kayak gini?” tanya Tifa pada pemuda itu.

          “Tolong.. a.. ku..” ucapnya lirih.

          Karena tak tega dengan kondisinya yang penuh luka, Tifa berpamitan untuk pulang lebih awal kepada manajer café. Tifa membopong pemuda itu dengan susah payah. Untungnya, letak rumahnya tak begitu jauh dari café.

          “Marlene… Danzel… bisa tolong bukakan pintunya?” seru Tifa kepada kedua adiknya yang sedang berada di rumah.

          “Kakak kok udah pulang? Ada yang ke…”

         “Tolong bantu Kakak, Danzel.” Tifa dibantu oleh adik lelakinya meletakkan pemuda yang terluka itu di sofa.

      “Kamu tolong jaga dia sebentar, ya. Kakak mau ambil kota P3K dulu.” perintah Tifa. Danzel memandangi pemuda itu dengan heran. Pemuda itu balas memandangnya.

          “Hey jagoan makasih, ya. Aku Cloud.” Cloud tersenyum ramah.

         “Iya, Kak. Aku Danzel. Kakak kenapa babak belur gini? Habis tengkar ya?” tanya Danzel penasaran. Cloud hanya tersenyum, membuat Danzel semakin penasaran.

          “Marlene mana, Dan?” Tifa muncul dengan membawa kotak P3K dan kompres.

          “Di kamar, Kak. Lagi belajar.” sahutnya.

          “Terus kamu kenapa nggak belajar juga? Belajar gih! Katanya mau jadi juara kelas terus?” ucap Tifa.

       “Iya, Kak. Ini otewe. Cepet sembuh ya, Kak Cloud.” Danzel meninggalkan Tifa dan Cloud dengan langkah sedikit berlari.

       Seketika suasana hening. Tifa menyeka darah yang sudah agak kering di pelipis Cloud. Kemudian dia mengobatinya dengan betadine dan menutup lukanya dengan kasa dan plester. Begitu seterusnya hingga semua luka selesai dibersihkan dan tertutup kasa.

          “Makasih banyak.” ucap Cloud singkat.

          “No problem. By the way, namamu Cloud? Aku Tiffani. Panggil aja Tifa.” jawabnya seraya memperkenalkan diri. Cloud hanya mengangguk lemah seraya tersenyum tipis.

          “Kamu habis berkelahi sama siapa? Kok sampai babak belur gitu? Dan sepertinya kamu bukan penduduk daerah sini ya?” tanya Tifa seperti menginterogasi.

          “Entah kamu akan bakal percaya atau nggak. Aku ini sebenarnya bangsa peri. Aku dikeroyok sama selingkuhan kekasihku, eh maksudku mantan kekesih. Dan entah bagaimana bisa kesasar ke dunia manusia ini.” jelasnya.

      Tifa seakan tak percaya akan perkataan Cloud. Dia tertawa terbahak-bahak karenya, “Ha ha ha. Peri? Kamu kira aku anak kecil yang percaya sama begituan? Peri itu nggak nyata. Mereka cuma ada di dunia dongeng. Jadi jangan bohong, deh! Atau jangan-jangan kamu ini  buronan polisi ya? Kamu teroris ya? Atau…”

          “Cerewet! Kamu perlu bukti? Sini ku buktiin.” Cloud membuktikan status ke-peri-annya dengan mengangkat gelas yang di meja tanpa menyentuhnya.


          Tifa terbelalak melihat apa yang dilakukan Cloud, “Kok…?”